Pada bulan September 1966, di hadapan angkatan
pejuang 45, Bung Karno menyanyikan lagu “Internasionale”. Saat itu,
setahun sejak peristiwa G.30/S, dinamika politik Indonesia makin
bergeser ke kanan. Atmosfer anti PKI—dan karenanya, Anti Marxisme—sangat
kuat.
Tetapi ada yang lebih penting saat itu: Bung Karno menegaskan dirinya
sebagai seorang marxis. Penegasan itu penting dan sangat bermakna. Saat
itu, MPRS sudah mengancang-ancang melarang marxisme dan komunisme.
Hampir semua golongan kiri, sekalipun non-PKI, dikejar-kejar dan dicap
sebagai “PKI malam” atau PKI-gelap.
Di hadapan anggota angkatan 45, yang sebagian diantaranya sudah
dirasuki anti-marxisme, Bung Karno menjejerkan nama-nama tokoh-tokoh
marxis yang, menurut pengakuannya, sudah tuntas dipelajarinya.
Diantaranya: Karl Marx, Engels, Jean Jaures, Lenin, Karl Kautsky, Leon
Trotsky, Stalin, Plekhanov, Rosa Luxemburg, Karl Liebhknecht, Pieter J
Toelstra, Sidney & Beatrice Webb, dan lain-lain.
Soekarno mengaku belajar marxisme sejak usia 16 tahun. Di Surabaya,
saat mondok di rumah HOS Tjokroaminoto, Soekarno menyelami marxisme.
Tjokroaminoto sendiri, seperti diklaim oleh Roeslan Abdulgani, adalah
pengagum marxisme. Buku Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, banyak
mengutip Marx dan Engels.
Di Bandung, Bung Karno makin mendalami marxisme. Seperti
diceritakannya sendiri: “Di malam terang bulan yang penuh gairah, aku
bahkan lebih memikirkan
isme daripada memikirkan Inggit (Istri
Bung Karno). Pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama
lain, aku mendekam dengan
Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi.”
Pengaruh Marxisme Dalam Pemikiran Soekarno
Pada tahun 1926, Soekarno muda menulis artikel berjudul
“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Di bagian akhir artikel itu,
yakni di pembahasan soal marxisme, Soekarno menjelaskan pemikiran Marx
mengenai materialisme dialektik, materialisme historis, nilai lebih, dan
perjuangan klas.
Karya-karya atau tulisan-tulisan Soekarno muda banyak diilhami
marxisme. Bahkan, ketika Soekarno memberi pembelaan di pengadilan
kolonial, hampir sebagian besar pidatonya mengambil gagasan-gagasan
marxisme. Coba lihat, misalnya, analisa Bung Karno mengenai
imperialisme. Di situ Soekarno sangat dipengaruhi oleh Rudolf
Hilferding, Lenin, dan Karl Kautsky.
Pada tahun 1933, bertepatan dengan 50 tahun wafatnya Karl Marx,
Soekarno menulis secara khusus tentang pahlawan kaum proletar itu. Ia
memberi penghargaan sangat tinggi atas kontribusi teoritik Karl Marx
dalam perjuangan proletar.
Bung Karno juga menulis tentang kontribusi marxisme dalam perjuangan
anti-kolonial di negara-negara jajahan, termasuk di Indonesia. Soekarno
mengatakan: “Nasionalisme di dunia Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan
Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu
itikad baru, satu senjata perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang
baru. Nasionalisme-baru inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat
Marhaen Indonesia.”
Soekarno belajar filsafat marxisme. Ia mengaku sangat terbantu oleh
materialisme dialektik dan materialisme historis. Coba kita lihat
sedikit ulasan Soekarno mengenai perbedaan Marx dan Hegel terkait ide
dan materi:
Hegel berkata begini –hal ini dijungkirbalikkan oleh
Marx- bahwa ini tadi yang dinamakan alam pikiran dan lain-lain itu, itu
adalah sumber dan dasar dari pada segala materi di dunia ini. Alam
pikiran manusia, perasaan manusia, itu adalah dasar, kata hegel yang
melahirkan segala hal yang materiil.
Marx berkata, salah, salah, salah, bukan bewusztseijn, yaitu alam
pikiran, perasaan yang melahirkan barang-barang materiil. Tetapi
sebaliknya barang-barang materiil lah yang melahirkan bewusztseijn
(kesadaran, ed.) manusia.
Lihat pula uraian Bung Karno perihal perbedaan Marx dan Hegel terkait dialektika:
Dialektika Hegel. Dialektika Saudara-saudara tahu,
bahwa sesuatu hal selalu menimbulkan pertentangan these antithese, itu
lah dialektik. Tetapi Hegel sebagai Feuerbach adalah juga statis. Dia
melihat satu hal, dan dia melihat dalam hal ini ada dua pertentangan.
Bagaimana saya melihat bunga, saya melihat ooo itu ada putihnya, tetapi
juga ada hijaunya … Hegel juga demikian, Saudara-sudara. Ia punya
dialektik adalah satu dialektik yang statis.
Marx punya dialektik adalah satu dialektik yang dinamis. Dia
melihat gerak, dia melihat beweging (gerak, ed.), dia melihat movement
(gerak, ed.) di dalam segala hal di atas. These hantam oleh antithese,
hantam oleh antithese dari pada sinthese itu. Timbul sinthese baru,
hantam lagi oleh antithese, terus. Lihat saya punya tangan, dari sini
pindah ke sini, pindah ke sini, terus, adalah satu perpindahan. Ini beda
besar antara Hegel dan Marx.
Bung Karno juga banyak mengambil ekopol Marxisme, khususnya
Das Capital,
untuk memberi dasar pada pemikiran ekonominya. Frans Seda, yang pernah
menjadi menteri menjelang akhir kekuasaan Bung Karno, menganggap
pengetahuan Bung Karno tentang ekonomi sangatlah berbobot.
Kita bisa lihat sekilas cuplikan fikiran Soekarno soal akumulasi kapital:
“Ia (Marx) mengadakan teori, bahwa oleh karena
“meerwaarde” (nilai tambah) itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu
makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang
kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar
(kapitaalscentralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan,
perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh
perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desakan-desakan ini
akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan saja yang amat besarnya
(kapitaalsconcentratie); –dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan
kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan
menimbulkan dendam-hati yang makin lama makin sangat
(Verelendungstheorie)”
Dalam teori politik, semisal mengenai negara, Bung Karno juga sangat
terpengaruh marxisme. Bung Karno, yang berusaha menarik demarkasi dari
Hegel, menjelaskan bahwa negara tak lain dan tak bukan ialah sebuah
organisasi. Atau, lebih tepatnya, sebuah organisasi kekuasaan (
mechsorganisatie).
Soekarno mengutip kesimpulan Marx:
“Negara sebagai manchtosganisatie di dalam tangannya suatu klas untuk menindas klas yang lain.” Di dalam kapitalisme, negara menjadi manchtosganisatie di tangan kaum kapitalis untuk menindas proletar.
Mengenai bentuk partai pelopor, kita akan menemukan pengaruh kuat
Karl Kautsky dan Lenin. Mengenai massa aksi, misalnya, Soekarno banyak
mengambil pelajaran dari pengalaman Partai Sosial-Demokrat Jerman dan
teoritisinya, Karl Kautsky.
Soekarno, seperti kaum marxis pada umumnya, juga membedakan antara
massa tidak sadar (unbewust) dan massa sadar (bewust). Dan, salah tugas
partai pelopor adalah menggembleng kesadaran massa yang tidak sadar
menjadi sadar. Itulah massa aksi!
Prinsip partai ala Lenin, yakni Bolshevik, juga banyak diambil
sebagai acuan dalam partai pelopor-nya Bung Karno. Khususnya dua hal:
partai berdisiplin tinggi dan sentralisme demokrasi. Soekarno di tulisan
Mencapai Indonesia Merdeka mengutip Lenin: “Tanpa teori revolusioner
maka tidak ada pergerakan revolusioner”.
Soekarno Menolak Dogmatisme
Bung Karno menerima marxisme, seperti dikatakannya sendiri, sebagai teori politik sekaligus panduan aksi (
the guiding theory). Marxisme adalah
the guiding theory untuk menjalankan perjuangan.
Soal ini, pada tahun 1926, saat menulis ”Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme”, Soekarno sudah mengatakan: ”Marx dan Engels bukanlah
nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk
segala jaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau jaman itu berubah;
teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak
mau menjadi bangkrut.”
Di sini, sangat jelas sekali Soekarno menolak memperlakukan ajaran
Marx sebagai “kitab merah” yang berlaku di segala keadaan dan segala
situasi. Marxisme, seperti dikatakan Lenin, harus menjadi “analisa
konkret terhadap situasi konkret”.
Dalam proposisi itulah kita harus menggeledah marhaenisme. Sebab,
marhaenisme—seperti ditegaskan Soekarno—adalah Marxisme yang
diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Ringkas cerita,
Marhaenisme adalah marxisme dalam konteks Indonesia.
Sebelum belajar Marhaenisme, kata Soekarno, orang perlu menguasai dua
hal lebih dulu: (1) Pengetahuan tentang marxisme; dan (2) Memahami
keadaan-keadaan (situasi konkret) di Indonesia.
Di mana konteks Indonesia-nya? Soekarno, seperti Jose Carlos
Mariategui di Peru, menganggap penerapan marxisme di Indonesia tidak
bisa
mengcopypaste secara membabi-buta penerapan marxisme dari Eropa.
Mariategui, misalnya, menekankan agar masyarakat asli (pribumi) harus
mengambil peranan aktif, sekalipun tidak memimpin, dalam perjuangan
revolusioner di Amerika Latin. Ia menolak keputusan internasional yang
mengharuskan semua nama partai menggunakan nama “partai klas pekerja”.
Gagasan Mariategui sangat relevan dan sampai sekarang sangat
berpengaruh di kalangan marxis di Amerika Latin. Dua proses revolusioner
di Amerika Latin, yakni Bolivia dan Ekuador, dipimpin oleh masyarakat
adat (asli): MAS di Bolivia dan CONAINE di Ekuador.
Soekarno juga dalam posisi itu. Marhaenisme, menurut saya, hendak
mengantisipasi dua hal pokok: (1) karakter atau kekhususan perkembangan
dan struktur sosial masyarakat Indonesia; dan (2) konteks Indonesia
sebagai negara jajahan.
Kenapa menekankan marhaen? Karena, dalam konteks Indonesia, hampir
90% rakyat Indonesia, saat itu, diidentifikasi Soekarno adalah marhaen.
Marhaen adalah orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat produksi
kecil, dan hasilnya pun cukup untuk dirinya sendiri.
Soekarno punya proposisi sendiri: Di Eropa, kapitalisme yang
berkembang adalah kapitalisme kepabrikan (terindustrialisasi). Sedangkan
di Indonesia yang berkembang masih kapitalisme pertanian dan
perkebunan.
Di eropa perkembangan industri benar-benar ”zuivere industrie”
(industri murni), sedangkan di Indonesia sekitar 75% masih onderming
(perkebunan).
Sebagai konsekuensinya: di eropa, perkembangan kapitalisme melahirkan
100% proletar murni. Sedangkan perkembangan kapitalisme di Indonesia
melahirkan kaum tani melarat yang sengsara dan papa. Kemudian, pada
tahun 1960-an, Bung Karno menjelaskan bahwa kaum marhaen itu meliputi
tiga unsur: (1) unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh); (2) unsur
kaum tani melarat Indonesia; (3) kaum melarat Indonesia lainnya.
Sebuah revolusi di Indonesia tidak akan berhasil jikalau mengabaikan peranan kaum marhaen.
Kita bisa melihat ”blunder” PKI pada tahun 1920-an yang menghapus
organ ”Sarekat Rajat (SR) sebagai jalan menuju ”pemurnian proletar”. PKI
menganggap SR, yang sebagian besar anggotanya adalah marhaen, bukan
elemen revolusioner. Akibatnya, kebijakan itu mengurangi pengaruh PKI
terhadap massa dan gagal memastikan kepemimpinan proletar terhadap massa
luas.
Soekarno juga mau mengantisipasi situasi Indonesia sebagai negara
jajahan. Pada saat itu, penekanan pokok perjuangan, termasuk penganut
marhaenisme, adalah perjuangan nasional anti-kolonial.
Di tulisan berjudul ”
Kapitalisme Bangsa Sendiri” Soekarno
mengatakan: “Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan, bahwa kita
harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri.
Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita dalam
perjuangan kita mengejar Indonesia-merdeka itu tidak pertama-tama
mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan
nasional.”
Kenapa demikian? Sebab, kata Soekarno, keinsyafan dan perasaan
nasional paling dominan dalam situasi masyarakat jajahan. Soekarno
mencoba menjelaskan perbedaan antitesa di Eropa dan Indonesia.
Di Eropa dan negara-negara yang sudah merdeka, kata Soekarno, dua
golongan yang saling berkontradiksi berasal dari satu bangsa, satu
natie, yakni pertentangan antara kapitalis dan buruh. Sehingga sifat
perjuangan di sana pun mengambil karakter zuivere
klassenstrijd—perjuangan klas.
Tetapi di negara jajahan, seperti Indonesia, yang “diatas” dan yang
“dibawah”, yang “menang” dan yang “kalah”, yang menjalankan kapitalisme
dan dihisap kapitalisme adalah berlainan kebangsaan. Bangsa penjajah,
yang sekaligus membawa tujuan kapitalisme, menghisap bangsa terjajah.
Dengan demikian, kata Soekarno, antitesa utama di negara jajahan adalah
antitesa nasional.
Dengan demikian, tekanan perjuangan di Indonesia adalah perjuangan
nasional. Artinya, titik tekan atau pusarnya perjuangan harus diletakkan
dalam perjuangan nasional melawan penjajah. Musuhnya: imperialisme
asing dan segala kekuatan di dalam negeri yang menjadi kekuatannya.
Akan tetapi, sekalipun menganut perjuangan nasional, tetapi rute
pejuangan rakyat Indonesia tidaklah mengarah pada terminal “negara
borjuis”. Akan tetapi, menurut Soekarno, perjuangan rakyat Indonesia
harus menuju masyarakat adil dan makmur (sosialisme Indonesia).
Karena itu, karakter perjuangan nasional Indonesia harus membuang
borjuisme. Perjuangan nasional Indonesia harus mengutamakan golongan
marhaen untuk menjalankan tugas historisnya. Itulah makanya karakter
nasionalisme Indonesia juga menolak nasionalisme borjuis.
Nasionalisme Indonesia, seperti dirumuskan Soekarno, adalah
sosio-nasionalisme, yaitu sebuah nasionalisme yang berpijak pada kaum
marhaen. Dan, sosio-nasionalis ini tidak sekedar mengejar Indonesia
merdeka, tetapi hendak melangkah pada penghapusan imperialisme dan
kapitalisme.
Demikian pula dengan demokrasi. Soekarno merumuskan bahwa model
demokrasi yang cocok dengan perjuangan kaum marhaen bukanlah demokrasi
parlementer, melainkan sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi, kata Soekarno,
adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Soekarno adalah seorang marxis, tetapi bukan marxis yang dogmatis.
Marxisme di tangan Soekarno adalah marxisme “yang disesuikan dengan
situasi konkret”.
kusno (PRD)