LMND

LIGA MAHASISWA NASIONAL UNTUK DEMOKRASI

Sabtu, 26 Januari 2013

Mahasiswa Tuban Bersolidaritas Untuk Petani Jambi dan Mesuji

Solidaritas-Tuban

Puluhan mahasiswa di Tuban, Jawa Timur, menggelar aksi massa di kantor Dinas Kehutanan (Dishut) Tuban, Jumat (25/1). Mereka menuntut penyelesaian konflik agraria, khususnya di Jambi, Mesuji (Lampung), dan Blitar (Jawa Timur).
Para mahasiswa ini bernaung di bawah aliansi “Gerakan Sejumput Tanah untuk Keadilan Agraria.” Adapun organisasi yang tergabung, antara lain, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), BEM STITMA, BEM Unirow Tuban, SAPMA, dan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI).
“Kami menggelar aksi ini sebagai bentuk dukungan terhadap petani Jambi dan Mesuji, yang telah menggelar aksi long-march dari Jambi ke Jakarta, untuk menuntut penyelesaian konflik agraria,” kata koordinator aksi, Hendri Kurniawan.
Menurut Hendri, konflik agraria di Indonesia tidak perlu terjadi seandainya pemerintah benar-benar menjalankan amanat konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945. Sayangnya, kata dia, sejak orde baru sampai sekarang ini, pasal 33 UUD 1945 sudah dicampakkan.
“Kalau pemerintah merujuk pasal 33 UUD 1945, maka pemilikan dan pengelolaan tanah akan diprioritaskan kepada kaum tani,” kata Hendri.
Dalam aksinya, massa aksi menekan pihak Dishut Tuban agar mengirimkan siaran pers mereka ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI di Jakarta. “Pada intinya, kami mendesak Kemenhut RI agar segera merespon tuntutan petani,” ujar Hendri.
Dan, sebagai bentuk kekecewaan mereka atas tindakan Kemenhut RI melegalkan perampasan tanah rakyat, mahasiswa lalu mengumpulkan sekarung tanah dan melemparkannya ke kantor Dishut Tuban.

Syaiful Anwar (anggota LMND TUBAN)

Selasa, 15 Januari 2013

Perbedaan Anti-Imperialisme Dan Anti-Segala Yang Berbau Asing



Pasal 33 UUD 1945-PLN
Akhir-akhir ini, ketika seruan melawan imperialisme makin menguat, sekelompok orang mulai menaruh rasa khawatir, bahwa gerakan semacam ini akan mengarah pada semangat anti orang asing atau semacam xenophobia. Pendapat ini meskipun sudah jelas salah, tetapi harus diberi jawaban. Setidaknya, supaya kesalah-pahaman seperti ini tidak dibesar-besarkan, apalagi jika hendak menggunakan isu ini untuk membuat rakyat takut kepada gerakan anti-imperialisme.
Baiklah, sebelum mengetahui apa itu anti-imperialisme, ada baiknya kita mengetahui dulu defenisi imperialisme. Persoalan imperialisme adalah, mengutip Bung Karno, sebuah sistem untuk mengusai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri—suatu sistim untuk merajai atau mengendalikan ekonomi bangsa lain.
Lenin, seorang pemikir marxis yang sering dikutip Bung Karno, mendefenisikan imperialisme sebagai kapitalisme pada tahap perkembangan dimana dominasi monopoli dan kapital finansial telah menjadi kenyataan, dimana ekspor kapital telah menjadi sangat penting; dimana pembagian dunia di antara sindikat-sindikat internasional telah dimulai; dimana pembagian teritori-teritori dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis terbesar telah selesai.
Bung Karno dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, menyampaikan empat ciri imperialisme di Indonesia: 1) Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup, (2) Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik di eropa, (3) Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam2 industri asing, (4) Indonesia menjadi lapang usaha bagi modal yang ratusan-ribuan-jutaan rupiah jumlahnya.
Ekspresi utama dari imperialisme adalah penindasan nasional, atau penindasan suatu bangsa atas bangsa lainnya, untuk tujuan-tujuan ekonomis. Sebuah negara yang ditindas secara nasional oleh bangsa lain tentu tidak akan punya basis untuk menciptakan kemajuan, apalagi bercita-cita memakmurkan rakyatnya. Bagaimana bisa mampu memakmurkan rakyatnya, jika semua sumber daya alam dan potensi ekonomi sudah habis diangkut ke negeri-negeri imperialis?
Menurut Bung Karno dalam pidato Indonesia Menggugat, selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial-politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya.
Oleh karena itu, perjuangan anti-imperialisme adalah perjuangan untuk menghapuskan penindasan bangsa atas bangsa lain, sekaligus sebuah perjuangan untuk menciptakan syarat-syarat bagi kemajuan suatu bangsa. Ini merupakan prasyarat yang diperlukan bagi bangsa Indonesia untuk bisa sederajat dan bermartabat dengan bangsa-bangsa lain.
Ada yang mengatakan, kita tidak usah mempersoalkan dominasi asing, tetapi marilah kita bertarung dalam persaingan global semacam ini. Orang semacam ini, yang tidak mengerti akan adanya relasi penindasan dalam struktur perekonomian global, menganggap bahwa orang yang dirantai tangannya bisa diadu tinju dengan orang bebas.
Nasionalisme Indonesia, yang sering disebut bung Karno sebagai sosio-nasionalisme, bukanlah nasionalisme yang sempit, bukan pula nasionalisme yang xenophobia. Nasionalisme Indonesia, sebagaimana dikatakan Bung Karno, bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan. Bung Karno telah mengutip perkatakaan Gandhi: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsan saya adalah peri kemanusiaan”.
Dengan demikian, melalui penjelasan yang singkat dan kurang lengkap ini, kiranya bisa dipahami bahwa anti-imperialisme adalah penentangan terhadap sebuah sistem, bukan penentangan terhadap orang-orang atau sebuah bangsa. Gerakan anti-imperialisme di Indonesia hendak menghancurkan sebuah sistem yang menindas, bukan saja imperialisme, tetapi juga kapitalisme.

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com

Bung Karno: Hubungan Perikemanusiaan Dan Kebangsaan



soekarno-22
Bagi sebagian orang, nasionalisme itu sudah pasti chauvinis. Kebangsaan dianggap sebagai pengkotak-kotakan manusia. Dan, pada ujungnya, peruncingan kebangsaan akan mengarah pada tragedi kemanusiaan.
Mungkin mereka tak pernah tekun mempelajari Pancasila. Kita tahu, sila kedua pancasila adalah perikemanusiaan. Di sini, para pendiri bangsa ingin menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia berlandaskan perikemanusiaan. Pemikiran Bung Karno sangat mempengaruhi gagasan Pancasila ini.
Soal perikemanusiaan itu?
Bung Karno membedakan antara kemanusiaan (mensheid) dan perikemanusiaan (menselijkheid). Kata Bung Karno, kemanusiaan itu adalah alam manusia. Kemanusiaan itu sudah ada sejak dahulu, yaitu sejak adanya manusia.
Sedangkan perikemanusiaan lain lagi. Kata Bung Karno, perikemanusiaan adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia dan manusia lainnya ada hubungannya; jiwa yang hendak mengangkat/membedakan jiwa manusia itu lebih tinggi daripada jiwa binatang.
Pendek kata, pemeluk perikemanusiaan itu melihat dirinya sebagai satu kesatuan dengan lainnya dalam suatu masyarakat.
Perikemanusiaan adalah hasil perkembangan rohani; hasil perkembangan kebudayaan; hasil dari perkembangan masyarakat dari tingkat rendah ke tingkat tinggi. Pendek kata, kemanusiaan merupakan hasil evolusi.
Menurut Bung Karno, perikemanusian itu mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan perkembangan masyarakat. Pada suatu masa, perbuatan tertentu dianggap jahat. namun, pada tahap selanjutnya, perbuatan itu dianggap tak jahat. Begitu pula sebaliknya.
Bung Karno memberikan contoh sederhana: pada masa primitif, dimana jumlah manusia masih kecil dan belum berhukum, relasi seksual belum mengenal sistim berpasangan (suami-istri). Bagi masyarakat sekarang, tindakan semacam itu bisa dianggap free-sex.
Kemudian, kata Bung Karno, manusia mulai hidup dalam sistim keluarga (verwantschapsfamilie). Awalnya, keluarga ini tinggal di dalam rumah panjang atau rumah besar. Kemudian berkembang lebih besar dan menjadi suku. Dalam perkembangan selanjutnya, karena pergaulan hidup, manusia berkembang lebih besar lagi melampaui suku-suku.
Nah, pada tahap itulah, seperti dijelaskan Bung Karno yang mengutip pemikir politik Austria, Otto Bauer: “manusia-manusia yang banyak itu kemudian mengalami pengalaman bersama dan persamaan watak”. Inilah landasan, seperti diyakini Otto Bauer, sebagai landasan terbentuknya bangsa.
Dalam perkembangan lebih tinggi, selaras dengan perkembangan teknik dan kemajuan masyarakat, batas-batas bangsa semakin terhapus. Pada tahap itu, kata Bung Karno, terjadi dua hal: di satu sisi, terbentuknya bangsa atau negara nasional. Kemudian, pada sisi lain, hungan manusia antar manusia dan bangsa atas bangsa makin rapat.
Perikemanusiaan dan Kebangsaan
Bung Karno banyak menyerap faham perikemanusiaan Mahatma Gandhi. Bagi Gandhi, kemanusiaan itu satu atau universal. Kemanusiaan itu tidak pernah terkotak-kotak atau terbelah. Sehingga, kata Gandhi, “nasionalismeku adalah perikemanusiaan.”
Bung Karno juga sangat menyadari hal itu. Dalam pidato 1 Juni 1945 (Lahirnya Pancasila) dikatakan dengan tegas: “Nasionalisme hanya bisa hidup subur di dalam taman sarinya internasionalisme. Internasionalisme hanya dapat hidup subur jikalau berakar di buminya nasionalisme.”
Manusia merupakan makhluk masyarakat (homo socius). Karena itu, kata Bung Karno, bangsa tak dapat hidup sendiri. Bangsa hanya dapat hidup di dalam masyarakat manusia dan masyarakat bangsa-bangsa.
Bangsa Indonesia punya cita-cita nasional, yakni masyarakat adil dan makmur. Akan tetapi, bangsa Indonesia juga harus berjuang untuk masyarakat adil dan makmur untuk seluruh umat manusia di dunia. Oleh karena itu, seperti ditegaskan Bung Karno, nasionalisme Indonesia menolak isolasionisme.
“Kita harus mencari hubungan dengan bangsa-bangsa lain di atas dasar persamaan, daulat sama daulat, dan saling-menguntungkan,” kata Bung Karno.
Apalagi, dalam kerangka perjuangan melawan imperialisme dan kapitalisme, bangsa Indonesia tidak bisa mengisolasi perjuangannya dalam kerangka nasional saja. Sebab, kata Bung Karno, imperialisme dan kapitalisme itu juga bersifat internasional. Itulah sebabnya bangsa Indonesia perlu menggalang solidaritas bangsa-bangsa anti-imperialis dan anti-kapitalisme.
Bung Karno menentang nasionalisme Hitler dan segala bentuk Chauvinisme lainnya. Kata Bung Karno, nasionalisme Hitler itu tak berperikemanusiaan. Sebab, manusia yang diakui oleh nasionalisme Hitler hanyalah manusia turunan Aria yang berkulit putih, berambut merah-kuning-jagung, dan bermata biru. Bung Karno menganggap tipe nasionalisme Hitler ini sebagai nasionalisme yang jahat.
Bagi Bung Karno, perikebangsaan atau kebangsaan hanyalah jembatan menuju kemanusiaan yang universal. Ini sejalan dengan pendapat Bung Hatta, bahwa cita-cita menuju persatuan hati atau persaudaraan segala bangsa dan segala manusia haruslah didahului dengan kemerdekaan bangsa.
Kata Bung Hatta, hanya bangsa-bangsa dan manusia yang sama derajat dan sama merdeka yang bisa bersaudara. Artinya, persaudaraan bangsa-bangsa dan manusia sedunia hanya mungkin terjadi kalau sudah tidak ada lagi penghisapan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa.
Timur Subangun, Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Mengenal Sosio-Nasionalisme Bung Karno




bk
Banyak orang sekarang ini, termasuk golongan kiri, melihat nasionalisme dalam satu wajah saja: chauvinis. Bagi mereka ini, nasionalisme tak lebih sebagai ekspresi ideologi borjuis. Karena itu, nasionalisme dalam segala manifestasinya akan selalu mengancam perjuangan klas pekerja.
Mereka juga beranggapan, nasionalisme sudah pasti berlawanan dengan semangat internasionalisme. Nasionalisme merayu klas pekerja untuk punya tanah-air. Loyalitas klas pekerja dipaksakan pada sebuah kebangsaan. Alhasil, kepentingan klas diringkus dalam bingkai “kepentingan nasional”.
Tetapi sebetulnya tidak sepenuhnya demikian. gerakan pembebasan nasional di negara-negara jajahan telah melahirkan nasionalisme dalam wajah lain: anti-kolonialisme, populis, demokratis, dan humanis.
Bung Karno juga punya konsep nasionalisme sendiri: sosio-nasionalisme. Namun, gara-gara jarang dibaca, apalagi dikaji secara mendalam dan intensif, maka ajaran sosio-nasionalisme ini kurang dikenal. Padahal, bagi saya, cita-cita sosio-nasionalisme ini justru sejalan dengan cita-cita sosialisme.
Dasar Teori Sosio-Nasionalisme
Ajaran sosio-nasionalisme mulai muncul tahun 1930-an. Pada saat itu, sudah muncul banyak gerakan nasionalis. Paling banyak adalah nasionalis radikal: Tjipto Mangkusumo, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lain.
Ada dua ajaran yang sangat berpengaruh pada kelahiran sosio-nasionalisme:
Pertama, ajaran nasionalisme  yang berkembang di Tiongkok dan India. Bung Karno banyak mempelajari ajaran nasionalisme yang berkembang di kedua negara tersebut. Kita tahu, ajaran nasionalisme di kedua negara itu sangat progressif, anti-kolonialisme, dan humanistik.
kita tentu sering mendengar kata-kata Mahatma Gandhi: My nationalism is humanity. Bagi Gandhi, menjadi patriotik nasionalis adalah karena kita manusia dan mencintai kemanusiaan.
Gandhi mengajarkan bentuk nasionalisme yang lain: nasionalisme yang hendak mengorganisir bangsa-bangsa untuk hidup sederajat dan berdampingan dengan bangsa-bangsa lain. Kata Gandi, jalan nasionalisme India bukanlah  melayani kepicikan, egoisme, kebangsaan sempit, dan chauvinis. Sebaliknya, nasionalisme India hendak melayani kemanusiaan.
Kita juga mengenal nasionalis progressif dari dataran Tiongkok, Sun Yat Sen. Ajarannya sangat terkenal: San-min Chu-i (tiga prinsip Rakyat), yaitu nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Di tangan Sun Yan Set, cita-cita nasional Tiongkok hendak menggabungkan tiga ajaran besar itu.
Kedua, ajaran marxisme. Bung Karno sangat terpengaruhi oleh marxisme. Ia bahkan mengaku sebagai seorang marxis. Bagi Soekarno, marxisme merupakan teori paling kompeten dalam memecahkan soal-soal sejarah, politik, dan kemasyarakat.
Bung Karno sendiri pernah bilang, “Marxisme itulah yang membuat saya punya nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia yang lain, dan Marxisme itulahyang membuat saya dari dulu benci fasisme.”
Marxisme mempengaruhi analisa Bung Karno soal kolonialisme. Ia tak melihat kolonialisme dari aspek rasialis: Suku, Agama, dan Ras. Karena itu, nasionalisme Soekarno, karena dipengaruhi oleh marxisme, tak punya kecenderungan sedikit pun untuk rasialis dan fasistik.
Bung Karno melihat kolonialisme, juga imperialisme, sebagai bentuk-bentuk akumulasi dari kapitalisme. Dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, ia mengatakan, nafsu akumulasi kapitalisme telah mendorongnya merampas negeri-negeri lain dan mengubahnya menjadi jajahan; dan dari situ mereka mengambil bekal industri, mendorong daerah-daerah pasar bagi hasil industrinya, dan menciptakan lapangan baru bagi bergeraknya modal mereka.
Namun, marxisme mempengaruhi Bung Karno sangat jauh. Ia menyadari, menghilangkan kolonialisme tanpa menghilangkan kapitalisme sama saja dengan omong-kosong. Itu sama dengan anekdok: keluar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya.
Karena itu, perjuangan pokok bangsa Indonesia tidaklah sekedar anti-kolonialisme, tetapi harus mengarah pada anti-kapitalisme. Ia tak hanya melawan kapitalisme bangsa lain, tetapi juga harus mencegah kapitalisme bangsa sendiri.
Nasionalisme eropa dan Indonesia
Bung Karno membedakan antara nasionalisme eropa dan dunia timur (jajahan). Bagi Bung Karno, nasionalisme eropa adalah suatu nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi.
Kenapa bisa begitu? Sebab, nasionalisme eropa memang digerakkan oleh nafsu kapitalisme. Karl Marx dalam Manifesto Komunis (1848) menjelaskan, “Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya mengejar borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.”
Bagi borjuis di eropa, negara nasional tak lain sebagai peralatan mereka untuk menopang proses akumulasi, yaitu perluasan pasar, pencarian bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pencarian sirkuit baru bagi akumulasi kapital.
Namun, berbeda halnya dengan nasionalisme di dunia timur (jajahan). Nasionalisme di timur lahir karena eksploitasi kolonial. Dengan demikian, mereka menentang segala bentuk kolonialisme. Nasionalisme di timur banyak digerakkan ide-ide progressif: demokrasi, humanisme, dan sosialisme.
Soekarno sangat mengakui hal itu. Ia bilang, “Nasionalisme di dunia Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, satu senjata perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru. Nasionalisme-baru inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat Marhaen Indonesia.”
Esensi Sosio-Nasionalisme
Bung Karno mendefenisikan sosio-nasionalisme sebagai nasionalisme massa-rakyat, yaitu nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat.
Bung Karno mengatakan, cita-cita sosio-nasionalisme adalah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat, sehingga masyarakat yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada lagi kaum tertindas, tidak ada kaum yang celaka, dan tidak ada lagi kaum yang papa-sengsara.
Karena itu, kata Bung Karno, sosio-nasionalisme adalah nasionalisme kaum marhaen. Dengan demikian, sosio-nasionalisme menentang borjuisme dan keningratan. Inilah tipe nasionalisme yang menghendaki “masyarakat tanpa klas”.
Sebagai konsekuensinya, sosio-nasionalisme menganggap kemerdekaan nasional bukan sebagai tujuan akhir. Bung Karno berulang-kali menyatakan kemerdekaan hanya sebagai “jembatan emas” menuju cita-cita yang lebih tinggi.
Dalam tulisannya, “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang diterbitkan pada tahun 1933, Bung Karno menegaskan bahwa tujuan pergerakan nasional kita mestilah mengarah pada pencapaian masyarakat adil dan sempurna, yang di dalamnya tidak ada lagi penghisapan. Berarti, tidak boleh ada imperialisme dan kapitalisme.
Nah, supaya kemerdekaan politik itu tidak disabotase oleh imperialisme, ataupun oleh kaum borjuis dan feodal di dalam negeri, maka kekuasaan politik indonesia pasca merdeka haruslah dipegang oleh kaum marhaen atau massa-rakyat Indonesia. Inilah esensi dari sosio-demokrasi (Kita akan membahasnya di artikel lain).
Bung Karno kuat-kuat berpesan, “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”
Karena sosio-nasionalisme bervisi “social conscience of man” (budi nurani sosial manusia), maka semangat sosio-nasionalisme adalah internasionalisme. Dalam pidato 1 Juni 1945—lahirnya Pancasila, Soekarno menjelaskan hubungan dialektik antara nasionalisme Indonesia dan internasionalisme: Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.
Dengan demikian, sosio-nasionalisme bisa disederhanakan sebagai berikut: (1) sosio-nasionalisme merupakan ajaran politik yang memperjuangkan masyarakat tanpa klas alias masyarakat adil dan makmur. (2) sosio-nasionalisme memberi kerangka pada revolusi Indonesia agar tak berhenti pada revolusi nasional semata, tetapi harus berlanjut pada transisi menuju sosialisme. (3) Sosio-nasionalisme meletakkan semangat kebangsaan negeri terjajah berjalan seiring dengan cita-cita internasionalisme.
Kusno, Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Soekarno Dan Marxisme




Amir peringatan hari Buruh 1946
Pada bulan September 1966, di hadapan angkatan pejuang 45, Bung Karno menyanyikan lagu “Internasionale”. Saat itu, setahun sejak peristiwa G.30/S, dinamika politik Indonesia makin bergeser ke kanan. Atmosfer anti PKI—dan karenanya, Anti Marxisme—sangat kuat.
Tetapi ada yang lebih penting saat itu: Bung Karno menegaskan dirinya sebagai seorang marxis. Penegasan itu penting dan sangat bermakna. Saat itu, MPRS sudah mengancang-ancang melarang marxisme dan komunisme. Hampir semua golongan kiri, sekalipun non-PKI, dikejar-kejar dan dicap sebagai “PKI malam” atau PKI-gelap.
Di hadapan anggota angkatan 45, yang sebagian diantaranya sudah dirasuki anti-marxisme, Bung Karno menjejerkan nama-nama tokoh-tokoh marxis yang, menurut pengakuannya, sudah tuntas dipelajarinya. Diantaranya: Karl Marx, Engels, Jean Jaures, Lenin, Karl Kautsky, Leon Trotsky, Stalin, Plekhanov, Rosa Luxemburg, Karl Liebhknecht, Pieter J Toelstra, Sidney & Beatrice Webb, dan lain-lain.
Soekarno mengaku belajar marxisme sejak usia 16 tahun. Di Surabaya, saat mondok di rumah HOS Tjokroaminoto, Soekarno menyelami marxisme. Tjokroaminoto sendiri, seperti diklaim oleh Roeslan Abdulgani, adalah pengagum marxisme. Buku Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, banyak mengutip Marx dan Engels.
Di Bandung, Bung Karno makin mendalami marxisme. Seperti diceritakannya sendiri: “Di malam terang bulan yang penuh gairah, aku bahkan lebih memikirkan isme daripada memikirkan Inggit (Istri Bung Karno). Pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi.”
Pengaruh Marxisme Dalam Pemikiran Soekarno
Pada tahun 1926, Soekarno muda menulis artikel berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Di bagian akhir artikel itu, yakni di pembahasan soal marxisme, Soekarno menjelaskan pemikiran Marx mengenai materialisme dialektik, materialisme historis, nilai lebih, dan perjuangan klas.
Karya-karya atau tulisan-tulisan Soekarno muda banyak diilhami marxisme. Bahkan, ketika Soekarno memberi pembelaan di pengadilan kolonial, hampir sebagian besar pidatonya mengambil gagasan-gagasan marxisme. Coba lihat, misalnya, analisa Bung Karno mengenai imperialisme. Di situ Soekarno sangat dipengaruhi oleh Rudolf Hilferding, Lenin, dan Karl Kautsky.
Pada tahun 1933, bertepatan dengan 50 tahun wafatnya Karl Marx, Soekarno menulis secara khusus tentang pahlawan kaum proletar itu. Ia memberi penghargaan sangat tinggi atas kontribusi teoritik Karl Marx dalam perjuangan proletar.
Bung Karno juga menulis tentang kontribusi marxisme dalam perjuangan anti-kolonial di negara-negara jajahan, termasuk di Indonesia. Soekarno mengatakan: “Nasionalisme di dunia Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, satu senjata perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru. Nasionalisme-baru inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat Marhaen Indonesia.”
Soekarno belajar filsafat marxisme. Ia mengaku sangat terbantu oleh materialisme dialektik dan materialisme historis. Coba kita lihat sedikit ulasan Soekarno mengenai  perbedaan Marx dan Hegel terkait ide dan materi:
Hegel berkata begini –hal ini dijungkirbalikkan oleh Marx- bahwa ini tadi yang dinamakan alam pikiran dan lain-lain itu, itu adalah sumber dan dasar dari pada segala materi di dunia ini. Alam pikiran manusia, perasaan manusia, itu adalah dasar, kata hegel yang melahirkan segala hal yang materiil.
Marx berkata, salah, salah, salah, bukan bewusztseijn, yaitu alam pikiran, perasaan yang melahirkan barang-barang materiil. Tetapi sebaliknya barang-barang materiil lah yang melahirkan bewusztseijn (kesadaran, ed.) manusia.
Lihat pula uraian Bung Karno perihal perbedaan Marx dan Hegel terkait dialektika:
Dialektika Hegel. Dialektika Saudara-saudara tahu, bahwa sesuatu hal selalu menimbulkan pertentangan these antithese, itu lah dialektik. Tetapi Hegel sebagai Feuerbach adalah juga statis. Dia melihat satu hal, dan dia melihat dalam hal ini ada dua pertentangan. Bagaimana saya melihat bunga, saya melihat ooo itu ada putihnya, tetapi juga ada hijaunya … Hegel juga demikian, Saudara-sudara. Ia punya dialektik adalah satu dialektik yang statis.
Marx punya dialektik adalah satu dialektik yang dinamis. Dia melihat gerak, dia melihat beweging (gerak, ed.), dia melihat movement (gerak, ed.) di dalam segala hal di atas. These hantam oleh antithese, hantam oleh antithese dari pada sinthese itu. Timbul sinthese baru, hantam lagi oleh antithese, terus. Lihat saya punya tangan, dari sini pindah ke sini, pindah ke sini, terus, adalah satu perpindahan. Ini beda besar antara Hegel dan Marx.
Bung Karno juga banyak mengambil ekopol Marxisme, khususnya Das Capital, untuk memberi dasar pada pemikiran ekonominya. Frans Seda, yang pernah menjadi menteri menjelang akhir kekuasaan Bung Karno, menganggap pengetahuan Bung Karno tentang ekonomi sangatlah berbobot.
Kita bisa lihat sekilas cuplikan fikiran Soekarno soal akumulasi kapital:
Ia (Marx) mengadakan teori, bahwa oleh karena “meerwaarde” (nilai tambah) itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaalscentralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desakan-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan saja yang amat besarnya (kapitaalsconcentratie); –dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam-hati yang makin lama makin sangat (Verelendungstheorie)”
Dalam teori politik, semisal mengenai negara, Bung Karno juga sangat terpengaruh marxisme. Bung Karno, yang berusaha menarik demarkasi dari Hegel, menjelaskan bahwa negara tak lain dan tak bukan ialah sebuah organisasi. Atau, lebih tepatnya, sebuah organisasi kekuasaan (mechsorganisatie).
Soekarno mengutip kesimpulan Marx:
“Negara sebagai manchtosganisatie di dalam tangannya suatu klas untuk menindas klas yang lain.” Di dalam kapitalisme, negara menjadi manchtosganisatie di tangan kaum kapitalis untuk menindas proletar.
Mengenai bentuk partai pelopor, kita akan menemukan pengaruh kuat Karl Kautsky dan Lenin. Mengenai massa aksi, misalnya, Soekarno banyak mengambil pelajaran dari pengalaman Partai Sosial-Demokrat Jerman dan teoritisinya, Karl Kautsky.
Soekarno, seperti kaum marxis pada umumnya, juga membedakan antara massa tidak sadar (unbewust) dan massa sadar (bewust). Dan, salah tugas partai pelopor adalah menggembleng kesadaran massa yang tidak sadar menjadi sadar. Itulah massa aksi!
Prinsip partai ala Lenin, yakni Bolshevik, juga banyak diambil sebagai acuan dalam partai pelopor-nya Bung Karno. Khususnya dua hal: partai berdisiplin tinggi dan sentralisme demokrasi. Soekarno di tulisan Mencapai Indonesia Merdeka mengutip Lenin: “Tanpa teori revolusioner maka tidak ada pergerakan revolusioner”.
Soekarno Menolak Dogmatisme
Bung Karno menerima marxisme, seperti dikatakannya sendiri, sebagai teori politik sekaligus panduan aksi (the guiding theory). Marxisme adalah the guiding theory untuk menjalankan perjuangan.
Soal ini, pada tahun 1926, saat menulis ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, Soekarno sudah mengatakan: ”Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala jaman.  Teori-teorinya haruslah diubah, kalau jaman itu berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut.”
Di sini, sangat jelas sekali Soekarno menolak memperlakukan ajaran Marx sebagai “kitab merah” yang berlaku di segala keadaan dan segala situasi. Marxisme, seperti dikatakan Lenin, harus menjadi “analisa konkret terhadap situasi konkret”.
Dalam proposisi itulah kita harus menggeledah marhaenisme. Sebab, marhaenisme—seperti ditegaskan Soekarno—adalah Marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Ringkas cerita, Marhaenisme adalah marxisme dalam konteks Indonesia.
Sebelum belajar Marhaenisme, kata Soekarno, orang perlu menguasai dua hal lebih dulu: (1) Pengetahuan tentang marxisme; dan (2) Memahami keadaan-keadaan (situasi konkret) di Indonesia.
Di mana konteks Indonesia-nya? Soekarno, seperti Jose Carlos Mariategui di Peru, menganggap penerapan marxisme di Indonesia tidak bisa mengcopypaste secara membabi-buta penerapan marxisme dari Eropa.
Mariategui, misalnya, menekankan agar masyarakat asli (pribumi) harus mengambil peranan aktif, sekalipun tidak memimpin, dalam perjuangan revolusioner di Amerika Latin. Ia menolak keputusan internasional yang mengharuskan semua nama partai menggunakan nama “partai klas pekerja”.
Gagasan Mariategui sangat relevan dan sampai sekarang sangat berpengaruh di kalangan marxis di Amerika Latin. Dua proses revolusioner di Amerika Latin, yakni Bolivia dan Ekuador, dipimpin oleh masyarakat adat (asli): MAS di Bolivia dan CONAINE di Ekuador.
Soekarno juga dalam posisi itu. Marhaenisme, menurut saya, hendak mengantisipasi dua hal pokok: (1) karakter atau kekhususan perkembangan dan struktur sosial masyarakat Indonesia; dan (2) konteks Indonesia sebagai negara jajahan.
Kenapa menekankan marhaen? Karena, dalam konteks Indonesia, hampir 90% rakyat Indonesia, saat itu, diidentifikasi Soekarno adalah marhaen. Marhaen adalah orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat produksi kecil, dan hasilnya pun cukup untuk dirinya sendiri.
Soekarno punya proposisi sendiri: Di Eropa, kapitalisme yang berkembang adalah kapitalisme kepabrikan (terindustrialisasi). Sedangkan di Indonesia yang berkembang masih kapitalisme pertanian dan perkebunan.
Di eropa perkembangan industri benar-benar ”zuivere industrie” (industri murni), sedangkan di Indonesia sekitar 75% masih onderming (perkebunan).
Sebagai konsekuensinya: di eropa, perkembangan kapitalisme melahirkan 100% proletar murni. Sedangkan perkembangan kapitalisme di Indonesia melahirkan kaum tani melarat yang sengsara dan papa. Kemudian, pada tahun 1960-an, Bung Karno menjelaskan bahwa kaum marhaen itu meliputi tiga unsur: (1) unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh); (2) unsur kaum tani melarat Indonesia; (3) kaum melarat Indonesia lainnya.
Sebuah revolusi di Indonesia tidak akan berhasil jikalau mengabaikan peranan kaum marhaen.
Kita bisa melihat ”blunder” PKI pada tahun 1920-an yang menghapus organ ”Sarekat Rajat (SR) sebagai jalan menuju ”pemurnian proletar”. PKI menganggap SR, yang sebagian besar anggotanya adalah marhaen, bukan elemen revolusioner. Akibatnya, kebijakan itu mengurangi pengaruh PKI terhadap massa dan gagal memastikan kepemimpinan proletar terhadap massa luas.
Soekarno juga mau mengantisipasi situasi Indonesia sebagai negara jajahan. Pada saat itu, penekanan pokok perjuangan, termasuk penganut marhaenisme, adalah perjuangan nasional anti-kolonial.
Di tulisan berjudul ”Kapitalisme Bangsa Sendiri” Soekarno mengatakan: “Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan, bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita dalam perjuangan kita mengejar Indonesia-merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan nasional.”
Kenapa demikian? Sebab, kata Soekarno, keinsyafan dan perasaan nasional paling dominan dalam situasi masyarakat jajahan. Soekarno mencoba menjelaskan perbedaan antitesa di Eropa dan Indonesia.
Di Eropa dan negara-negara yang sudah merdeka, kata Soekarno, dua golongan yang saling berkontradiksi berasal dari satu bangsa, satu natie, yakni pertentangan antara kapitalis dan buruh. Sehingga sifat perjuangan di sana pun mengambil karakter zuivere klassenstrijd—perjuangan klas.
Tetapi di negara jajahan, seperti Indonesia, yang “diatas” dan yang “dibawah”, yang “menang” dan yang “kalah”, yang menjalankan kapitalisme dan dihisap kapitalisme adalah berlainan kebangsaan. Bangsa penjajah, yang sekaligus membawa tujuan kapitalisme, menghisap bangsa terjajah. Dengan demikian, kata Soekarno, antitesa utama di negara jajahan adalah antitesa nasional.
Dengan demikian, tekanan perjuangan di Indonesia adalah perjuangan nasional. Artinya, titik tekan atau pusarnya perjuangan harus diletakkan dalam perjuangan nasional melawan penjajah. Musuhnya: imperialisme asing dan segala kekuatan di dalam negeri yang menjadi kekuatannya.
Akan tetapi, sekalipun menganut perjuangan nasional, tetapi rute pejuangan rakyat Indonesia tidaklah mengarah pada terminal “negara borjuis”. Akan tetapi, menurut Soekarno, perjuangan rakyat Indonesia harus menuju masyarakat adil dan makmur (sosialisme Indonesia).
Karena itu, karakter perjuangan nasional Indonesia harus membuang borjuisme. Perjuangan nasional Indonesia harus mengutamakan golongan marhaen untuk menjalankan tugas historisnya. Itulah makanya karakter nasionalisme Indonesia juga menolak nasionalisme borjuis.
Nasionalisme Indonesia, seperti dirumuskan Soekarno, adalah sosio-nasionalisme, yaitu sebuah nasionalisme yang berpijak pada kaum marhaen. Dan, sosio-nasionalis ini tidak sekedar mengejar Indonesia merdeka, tetapi hendak melangkah pada penghapusan imperialisme dan kapitalisme.
Demikian pula dengan demokrasi. Soekarno merumuskan bahwa model demokrasi yang cocok dengan perjuangan kaum marhaen bukanlah demokrasi parlementer, melainkan sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi, kata Soekarno, adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Soekarno adalah seorang marxis, tetapi bukan marxis yang dogmatis. Marxisme di tangan Soekarno adalah marxisme “yang disesuikan dengan situasi konkret”.

kusno (PRD)

Senin, 14 Januari 2013

LMND dan SRMI Tolak kenaikan BBM


                                                   
TUBAN : Puluhan massa gabungan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) menggelar aksi menolak kenaikan harga BBM di kantor DPRD Tuban, Selasa (20/3/2012).
“Kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat. Mereka akan dipaksa menanggung kenaikan harga bahan pokok, kenaikan tariff angkutan, PHK massal, dan kenaikan biaya produksi usaha kecil,” kata koordinator aksi, M. Zainal Syafi’i.
Menurut Zainal, kondisi ekonomi rakyat sudah sangat terpuruk akibat kebijakan neoliberal rejim SBY-Budiono. Dan, kenaikan harga BBM akan menjadi beban yang akan makin menindih kehidupan rakyat yang sudah terpuruk itu.
LMND dan SRMI membawa tiga tuntutan: menolak kenaikan harga BBM, cabut UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas, dan kembalikan tata-kelola migas Indonesia sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.
Dalam aksinya, massa aksi LMND dan SRMI mendesak anggota DPRD Tuban untuk mendukung gerakan rakyat menolak kenaikan harga BBM. Akhirnya, dua anggota DPRD Tuban, Sunoto dari PDIP dan Tri Astutik dari Gerindra, bergabung dengan massa aksi dan menyuarakan penolakan terhadap kenaikan harga BBM.
Saat menutup aksinya, massa aksi LMND dan SRMI membakar foto Presiden SBY sebagai bentuk kekecewaan. “SBY sudah dua periode menjadi presiden. Ia sudah empat kali menaikkan harga BBM. Ini neoliberalis tulen,” ujar korlap aksi.

Hendrik

Politik itu Baik




Anggapan bahwa politik itu kotor seringkali didasarkan pada realitas perpolitikan yang selalu menampilkan wajah buram dan penuh tipu daya. Anggapan ini tidak serta merta dibenarkan begitu saja. Karena hakekat politik yang sesungguhnya adalah untuk perbaikan bangsa bukan untuk merusak.
Jika realitas yang terjadi menunjukkan bahwa politik itu kejam, maka sesungguhnya yang kejam bukanlah hakekat politik, melainkan aktor-aktor (politisi) didalamnya yang bertindak kejam dan kotor. Praktik-praktik kotor para politisi itu hampir setiap hari dapat dilihat melalui berbagi media dengan mudah. Sudah menjadi rahasia umum pula, setiap pesta demokrasi digelar, praktik kotor politik uang pasti ada.
Realitas perpolitikan yang kotor ini, disebabkan karena kesalahan dalam memahami hakekat politik. Oleh karena itu, pengertian tentang hakekat politik yang benar, harus segera disosialisasikan dan ditekankan kepada masyarakat luas agar kesalahpahaman tentang hakekat politik bisa segera diluruskan.
Hakekat Politik
Kata “politik” berasal dari bahasa Yunani “polis” yang berarti “kota”. Yang dimaksud kota disini adalah negara. Kemudian di dalam teori ilmu politik dikenal istilah city-state (negara kota). Dari sinilah muncul pengertian awal tentang hakekat politik, yaitu seni untuk menata dan mengatur negara guna menciptakan kebaikan bersama warga kota (negara) tersebut.
Selain itu, kata politik juga bisa dihubungkan dengan kata “polite” yang berarti kesopanan atau kesantunan. Politik yang sesungguhnya adalah aktivitas yang bepegang teguh pada etika kesopanan dan sesantunan, dan bukan politik namanya, jika tidak menggunakan etika kesopanan.
Dalam Islam, terminologi Politik juga dikenal dengan nama siyasah, yang bermakna mengurusi. Orang yang terjun didalamnya dan melakukan pengurusan disebut siyasiy (politisi). Dari sini terlihat bahwa politik berkaitan erat dengan kegiatan pengaturan, pengurusan, dan pemeliharan berbagai urusan kemasyarakatan. Bila mengacu pada pengertian ini, jelas sekali politik adalah kegiatan yang mulia bukan aktivitas kotor.
Dari tiga pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa, politik adalah aktivitas yang dilakukan dengan landasan etika kesopanan guna mengatur berbagai urusan kemasyarakat serta memiliki tujuan terciptanya kebaikan bersama.
Salah Orientasi
Politik, selama ini hanya dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan (power) saja. Maka tidak heran jika perilaku politik yang nampak adalah kenyataan bahwa segala sesuatu menjadi “halal” untuk merebut, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan.
Hans J Morgenthau, dalam Political Among Nations mengungkapkan bahwa politik merupakan perjuangan menuju kekuasaan. Dalam definisi yang lain juga disebutkan bahwa politik adalah seni meraih kekuasaan. Pemaknaan politik seperti ini jelas menyesatkan. Karena, segala sesuatu hanya diarahkan kepada kekuasaan saja (power oriented).
Kesalahan orientasi ini sudah menjangkit hampi ke semua lapisan politisi, dari yang tua sampai yang muda. Sekarang ini sangat sulit untuk membedakan antara politisi yang benar dan yang berpura-pura benar. Hampir tidak ada politisi yang tidak mengorientasikan aktivitas politiknya untuk merebut kekuasaan.
Power Oriented jelas sekali membuat seseorang gelap mata. Ia rela melakukan segala hal agar kekuasaan itu dapat diraih. Tidak peduli harus ditempuh dengan cara apapun. Jika seluruh politisi bertindak demikian, maka sesungguhnya yang mereka lakukan bukanlah berpolitik, melainkan saling rebut kekuasaan.
Pendidikan Politik
Agar hakekat politik yang bertujuan mengatur kehidupan masyarakat tidak kehilangan makna, maka perlu dilakukan penyadaran kepada seluruh masyarkat sekaligus penyadaran kepada politisi lewat pendidikan politik. Dalam hal ini partai politik lah yang harus betanggungjawab untuk menjalankan fungsinya, yaitu menyelenggarakan pendidikan politik kepada masyarakat.
Pendidikan politik nantinya harus mampu menciptakan paradigma baru tentang politik yang lebih segar dan komprehensif. Sehingga anggapan masyarakat tentang politik itu kotor akan tertepis dengan sendirinya.
Lewat pendidikan politik ini, diharapkan muncul politisi yang baik, bermoral luhur, serta memiliki keberanian yang tinggi dalam memperjuangkan dan mewujudkan ide-ide bagi terciptanya kebaikan masyarakat.
Untuk itulah dibutuhkan orang-orang baik untuk terjun dalam dunia politik. Dengan harapan orang-orang baik itu mampu mengimbangi kekuatan-keuatan orang jahat yang selama ini berkuasa di dunia politik. Akan tetapi, jika kaum yang bermoral justru menjauhi dunia politik dan ikut-ikutan menyatakan bahwa politik itu kotor, maka orang-orang jahat akan semakin bahagia, karena dengan leluasa mereka bisa melakukan berbagai tindak kejahatan.
Anggapan bahwa politik itu kotor disebabkan oleh kenyataan di dunia politik yang dipenuhi oleh orang-orang jahat yang berpolapikir kotor. Namun, pada hakekatnya politik itu adalah sebuah aktivitas yang luhur. Oleh sebab itu, untuk menjernihkan hakekat politik, orang-orang yang baik harus disadarkan dan dimobilisir untuk masuk kedalam dunia politik. Keberadaanya harus bisa menjadi kompetitor bagi orang –orang jahat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Oleh: Misbahul Ulum
                               (Tulisan ini dimuat pada Koran Wawasan, 22 September 2011)