LMND

LIGA MAHASISWA NASIONAL UNTUK DEMOKRASI

Rabu, 26 Desember 2012

PANCASILA




Pancasila adalah lebih memenuhi kebutuhan manusia dan lebih menyelamatkan manusia, daripada Declaration of independencenya Amerika, atau manifesto komunis. Pancasila adalah satu pengangkatan yang lebih tinggi dari pada Declaration Of Independence dan Manifesto Komunis.
 (Soekarno)
A.   Sejarah Lahirnya Pancasila

Sebagai bangsa yang memiliki kehendak untuk merdeka, maka para founding father bangsa Indonesia memikirkan apakah bangsa yang hendak dimerdekakan harus berdasar satu falsafah atau tidak? Kita sebagai bangsa dengan cita-cita kebangsaan yang besar yakni menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, tentu harus memiliki dasar (weltanschuung) bernegara, di mana diatas dasar (weltanschuung) itulah kita meletakkan segala usaha bangsa Indonesia untuk mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Dasar negara itulah yang sekarang kita kenal sebagai Pancasila.

Lima Sila dalam pancasila adalah kepribadian dan identitas bangsa Indonesia (Indonesia Identity). Lima sila ini adalah mutiara daripada sifat asli masyarakat dan bangsa Indonesia yang terpendam dalam bumi bangsa Indonesia selama masa penjajahan kolonialisme.

Starategi adu domba (Divide et Impera), tindakan pembodohan kepada kaum pribumi, sikap angkuh sebagai bangsa yang merasa lebih bernilai telah memposisikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kecil dan usaha Kolonial menanamkan kepercayaan dalam pikiran bangsa Indonesia bahwa antara Kolonial dan bangsa Indonesia memiliki kepentingan yang sejalan dengan Imperialisme adalah cara Kolonial menjajah dan  menghacurkan kepribadian bangsa Indonesia.

Hilangnya kepribadian bangsa melahirkan sejarah penderitaan masyarakat Indonesia. Betapa dalamnya penghisan kolonialisme kepada rakyat Indonesia yang telah mencapai di luar batas kemanusian. Sebab ini maka timbulah kesadaran dikalangan kaum Pribumi mengamukan palu godam perjuangan dalam bentuk organisasi-organisasi pergerakan melawan kekuasaan Kolonial.

Pentingnya sebuah dasar (weltanschuung)  berbangsa dan bernegara, Soekarno dalam pidatonya menyampaikan Philosofische Grondslag yang merupakan pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya di dirikan bangsa Indonesia didepan angota sidang (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan dasar atau falsafah (weltanschuung) negara Indonesia merdeka yang di sebut dengan Pancasila yang berisikan lima sila yakni; sila kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusian, mufakat atau demokrasi, kesejahtraan sosial dan ketuhanan. Dalam pidatonya ini Bung Karno berhasil meyakinkan anggota Dokuritzu Zyumbi Tyoosakai (BPUPKI) untuk Menerima Pancasila sebagai dasar Negara, yang segera di sisipkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pidato 1 Juni kemudian di jadikan sebagai hari lahirnya Pancasila.

Menjelang Proklamasi kemerdekaan, Dokuritzu Zyumbi Tyoosakai (BPUPKI) dihapuskan dan lahirlah Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebelum naskah proklamasi dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, pada tanggal 22 Juli 1945 telah lahir naskah yang dikenal sebagai Piagam Jakarta/ Jakarta Charter. Piagam inilah yang menjiwai UUD Proklamasi dan kemudian dijadikan landasan pembukaan UUD 1945. Berdasarkan naskah Piagam Jakarta inilah susunan Pancasila dalam UUD 1945, kemudian berbunyi; (1). Ketuhanan Yang Maha Esa (2). Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab (3). Persatuan Indonesia (4). Kerakyatan Yang Di Pimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan (5). Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Prinsip-Prinsip Pancasila

1.    Ketuhanan Yang Maha Esa

Bangsa Indonesia meliputi orang-orang yang menganut banyak agama : ada islam, Kristen, ada Budha, Hindu bahkan ada yang tidak menganut suatu agama seperti kita beragama saat ini. Berpangkal pada kenyataan dan mengingat akan berbeda-beda tetapi besatunya bangsa Indonesia, maka Indonesia menempatkan  Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang utama dalam falsafah hidup masyarakat Indonesia. Toleransi yang cukup tinggi antar pemeluk agama mengakui bahwa kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik bangsa Indonesia.

2.    Kemanusian yang Adil dan Beradab

Perikemanusian adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia dengan manusia lainnya memiliki hubungan yang hendak mengangkat jiwa manusia itu lebih tinggi. Rasa perikemanusian merupakan pertumbuhan daripada rohani, pertumbuhan kebudayaan dari alam tingkat rendah kealam yang lebih tinggi.

Perkembangan pergaulan hidup dalam zaman seperti sekarang, tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, manusia adalah masyarakat sosial (homo socius). Demikianpun, Bangsa Indonesia bukanlah suatu bangsa yang berdiri sendiri, tetapi adalah suatu bangsa dalam keluarga bangsa-bangsa. Yang pada hakekatnya bangsa Indonesia adalah satu rantai dari pergaulan hidup bangsa-bangsa di dunia.

Negara Republik Indonesia sebagai negara merdeka menyatakan kehendak berkehidupan kebangsaan yang bebas antara bangsa-bangsa tanpa adanya suatu bentuk penjajahan. Oleh karena itu, ketertiban dunia menjadi faktor utama menghapuskan penjajahan diatas dunia. Sehingga cinta kebangsaan yang di maksudkan, bukanlah menebarkan rasa kebencian (chauvinis) kepada bangsa lain.

Persatuan Indonesia

Begitu banyak rentetan sejarah perlawanan diberbagai daerah ditanah air terhadap penjajah kolonialisme Belanda.  Walaupun peperangan melawan kekuasaan kolonialisme pada waktu itu satu sama lain tidak ada hubungannya dan bersifat lokal kedaerahan, tetapi intinya adalah sama, yaitu melawan kekejaman penindasan kekuasaan kolonial.
Terhadap tindakan-tindakan kolonialisme yang hendak berkuasa sendiri, jarang sekali orang Indonesia tinggal diam. Banyak raja-raja dan pemimpin nasional Indonesia turun tangan mengangkat senjata untuk mengusir penjajah. Tetapi semuanya tidak berhasil.
Salah satu sebab pokok mengapa bangsa Indonesia gagal mengusir penjajah, adalah tidak terbangunnya persatuan antar sesama bangsa Indonesia. Setiap daerah berjuang sendiri-sendiri.  Tampa persatuan, bangsa Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa.
Semangat Persatuan Indonesia  merupakan kekuatan yang membakar hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup dan memberi kekuatan sepanjang kegelapan bangsa Indonesia. Semangat yang membakar ini harus tetap dinyalakan karena hanya dengan jiwa kebangsaan, jiwa persatuan, bangsa Indonesia akan mampu menumbangkan imperialisme.

Nasionalisme yang ada pada bangsa Indonesia berbeda dengan Nasionalisme Barat. Di Barat, Nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif dan ekspansif serta keuntungan bagi kepentingan ekonomi nasionalnya. Nasionalisme di Barat adalah di lahirkan oleh imperialisme. Di Indonesia Nasionalisme adalah gerak pembebasan, suatu gerakan protes terhadap Imperialisme dan Kolonialisme dan suatu  jawaban terhadap penindasan nasionalisme chauvinis yang bersumber dari eropa.

Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan

Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Lebih tegas demokrasi tampaknya merupakan keadaan asli dari pada Indonesia. Peradaban masyarakat Indonesia telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia.

Demokrasi Indonesia  mengandung tiga unsur pokok:
1.      Mufakat yakni kebulatan tekad
2.      Demokrasi yang mengandung prinsip perwakilan
3.      Prinsip musyawarah

Demokrasi akhirnya mengandung prinsip Mufakat, Perwakilan dan musyawarah antara wakil-wakil.

Demokrasi adalah alat untuk mencapai suatu bentuk masyarakat yang dicita-citakan, yakni masyarakat adil dan makmur. Tetapi dalam cara kerja dan pemikiran kita atau lebih tegas lagi dalam cara keyakinan dan kepercayaan kita, kedaulatan rakyat bukan sekedar alat saja. Bukan hanya sekedar satu alat teknis saja, tetapi suatu kesadaran, suatu kepercayaan dalam usaha mencapai bentuk masyarakat sebagai yang kita cita-citakan.

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Keadilan Sosial di rangkaikan dengan kemakmuran sosial. Karena kedua hal ini tidak dapat di pisah-pisahkan. Hanya satu masyarakat yang makmur dapat merupakan satu masyarakat adil.

Tri sila

Soekarno dalam pidatonya didepan anggota Dokuritzu Zyumbi Tyoosakai (BPUPKI), menjelaskan  apabila, ada anggota sidang yang tidak berkenan dengan Pancasila, maka Pancasila Kemudian diperas menjadi Trisila, yakni; sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. Akan tetapi, sila ketuhanan tidak akan dibahas kembali dalam bagian ini.

Socio-Nasionalisme

Istilah “socio-nasionalisme” ini mungkin memunculkan pertanyaan; mengapa tidak nasionalisme saja? Atau kebangsaan saja? Mengapa menggunakan istilah socio-nasionalisme? Bila dicermati, istilah ini membuat garis pembeda yang tegas terhadap, atau kebalikan dari, prinsip nasionalisme yang fasistik (nasional-sosialisme) yang pernah membuat tragedi besar umat manusia di pertengahan abad 20. Menurut Dr. Adel Bshara, seorang peneliti tentang pemikiran politik nasional dan militer, nasional-sosialisme merupakan jenis nasionalisme yang dianjurkan oleh Heinrich von Treitschke, seorang sejarawan Jerman pada abad-19, berdasarkan pada teori “Sosial Darwinisme”[1] tentang kompetisi antar ras. Berangkat dari teori tersebut Treitschke menciptakan mitos bahwa ras Jerman (Aria) lah yang paling unggul. Pada kemudian hari, berdasarkan mitos persaingan dan keunggulan ras tersebut, fasisme di Jerman berkembang dan mengganas dalam komando Adolf Hitler.

Bung Karno memang menggunakan juga istilah “kebangsaan”, namun paham kebangsaan yang dianjurkan Bung Karno dilandasi oleh “persatuan orang dan tempat”, sebagai tambahan pada “kehendak untuk bersatu” serta “persatuan nasib” yang dikutip dari Ernest Renan dan Otto Bauer. Sama sekali bukan didasarkan persaingan antara ras.
Secara geografis Indonesia merupakan satu gugus kepulauan. Orang-orang yang mendiami kepulauan tersebut saling berhubungan jauh sebelum penjajah Barat datang. Saat kita membuka peta, kita akan melihat pulau-pulau di Indonesia mengelompok sebagai satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera. Orang-orang yang berada dalam geografi tersebut, terutama di kota-kota pesisir, berhubungan melalui perdagangan sampai terbentuk bahasa “Melayu pasar” yang kemudian menjadi bahasa persatuan: Bahasa Indonesia.
Bung Karno secara tegas menolak peruncingan nasionalisme menjadi sempit atau chauvinis. Meskipun dalam berbagai kesempatan ia membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, ia tetap mengingatkan kita bahwa “Indonesia hanya bagian kecil dari dunia” sehingga bangsa Indonesia jangan sekali-kali meremehkan bangsa lain. “Kita harus hidup dalam perdamaian dan persaudaraan dunia”, pesannya.
Namun, pada saat yang sama ia juga mencela orang-orang yang menganut paham “kosmopolitanisme” atau yang tidak mengakui adanya kebangsaan. Orang-orang tersebut hanya mengakui internasionalisme atau kemanusiaan saja sehingga tidak berakar di bumi yang bernama bangsa, sebagaimana dikatakan berikut: 
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.

Sangat masuk akal bahwa kemanusiaan bukanlah suatu perkara yang jauh dari tempat kita hidup. Dengan kata lain, adalah omong kosong untuk memperjuangkan keadilan bagi umat manusia di seluruh muka bumi sementara di lingkungan politik terdekat kita (bangsa) masih terdapat ketidakadilan yang merendahkan kemanusiaan itu sendiri. Bagaimanapun, bangsa merupakan akar tempat kita berasal, tumbuh, dan memperoleh kehidupan serta kesadaran sosial. Prinsip kemanusiaan atau internasionalisme hanya akan bermakna apabila kita memulai dengan mengubah situasi bangsa menjadi lebih baik. Dari sini, pada akhirnya, menuntut kesadaran tentang adanya penindasan terhadap bangsa Indonesia oleh modal dari bangsa-bangsa yang lebih maju. Kesadaran tentang “persatuan manusia dan tempat” yang terus dilemahkan secara fisik dan mentalitas agar dapat terus dijajah.
Persatuan manusia dan tempat, dalam hubungan dengan prinsip kemanusiaan, ini membedakan kecenderungan nasionalisme di negeri-negeri maju dengan di negeri-negeri terjajah. Nasionalisme di negeri-negeri maju mempunyai kecenderungan agresif dan menindas karena didasari perasaan bahwa bangsanya lebih unggul dari bangsa lain—meskipun keunggulan itu diperoleh dari eksploitasi bangsa lain. Oleh karena itulah, para pemikir marxis dari negeri-negeri Eropa, umumnya secara keras menolak nasionalisme di Tanah Airnya. Sedangkan nasionalisme di negeri-negeri terjajah mempunyai kecenderungan progresif karena dilandasi keinginan untuk mencapai kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain di dunia, yang berarti juga keinginan untuk lepas dari penindasan bangsa lain. Oleh karena itu pula, para pemikir marxis di negeri-negeri terjajah umumnya merupakan pejuang pebebasan nasional yang paling gigih.
Demikian kedua prinsip tersebut, kebangsaan (nasionalisme) dan kemanusiaan (internasionalisme) diperas menjadi satu, dan oleh Sukarno dinamakan sosio-nasionalisme. Di sini Bung Karno memperlihatkan hubungan dialektik antara kedua paham yang kerap dipertentangkan.

Socio-demokrasi

Kita telah membahas socio-nasionalisme sebagai konsep pemikiran. Berikutnya adalah konsep pemikiran socio-demokrasi. Gagasan socio-demokrasi berasal dari sejarah perjuangan kaum buruh Eropa, yang menekankan arti penting perjuangan kelas tertindas untuk mencapai keadilan sosial melalui perebutan kekuasaan politik.

Sejarah pemikiran ini berkembang melalui berbagai tahap, baik pada masa-masa moderat maupun radikal. Sejak kapitalisme muncul menggantikan feodalisme di daratan Eropa, muncul pula ide-ide tentang masyarakat adil-makmur atau sosialisme. Gagasan-gagasan tentang sosialisme ini mulai menemukan landasan ilmiah sejak diluncurkan Manifesto Partai Komunis tahun 1848 yang ditulis oleh Karl Marx dan Frederich Engels. Perjuangan kelas buruh semakin menghebat.

Namun selama dekade 1850-an sampai 1860-an gerakan kelas buruh mengendur. Seiring dengan itu gagasan tentang perjuangan kelas pun mengalami pergeseran menjadi lebih moderat. Ferdinand Lasalle, seorang politisi Jerman dan anggota Liga Komunis, kemudian mengajukan teori bahwa “negara harus bertindak sebagai arsitek kebijakan sosial dengan dukungan kelas pekerja”. Sosial demokrasi hendak mendirikan negara sosialis namun dengan metode yang lebih moderat dan konstitusional. Gagasan ini lebih moderat dibandingkan gagasan Marx bahwa negara haruslah direbut secara paksa oleh kelas pekerja untuk menjadi alat kekuasaan demi mencapai keadilan yang sepenuh-penuhnya.

Ketika perjuangan menentang kapitalisme kembali menggelora, maka gerakan kelas buruh Eropa kembali dekat pada gagasan Marx yang tercantum dalam Manifesto Partai Komunis, meskipun masih membawa nama Sosial Demokrasi. Penggunaan nama ini terus berlanjut sampai gerakan buruh berkembang secara internasional khususnya di seluruh Eropa dan Amerika.

Ketika meletus Perang Dunia I terjadi pembelahan antara pendukung dan penentang perang di kalangan kaum sosial demokrat (marxis) sendiri. Kaum sosial demokrat yang menentang perang kemudian menggunakan nama “komunis”, sementara yang mendukung perang tetap menggunakan nama “sosial demokrasi” atau sering disingkat “sosdem”. Karena interaksinya yang sangat kuat maka gagasan socio-demokrasi tidak dapat dipisahkan teori sosial marxis.

Seperti sebagian besar pendiri bangsa lain, Bung Karno bukan tidak pernah mempelajari gagasan marxisme. Sebaliknya, bila kita telusuri karya-karyanya, dapat ditemui begitu banyak kutipan pemikiran Karl Marx atau para pengikutnya dari berbagai negeri. Bung Karno bahkan mengakui bahwa ide Marhaenisme yang diajukannya merupakan penerapan marxisme dalam kondisi Indonesia. Makanya sangat mengherankan, atau merupakan manipulasi yang membodohkan, bila orang mempertentangkan Pancasila dengan Marxisme secara antagonistis, sebagai paham yang tidak dapat dipertemukan.

Pancasila memang bukan marxisme, begitu pula sebaliknya, marxisme bukanlah Pancasila. Namun penerapan marxisme harus memperhatikan situasi-situasi khusus waktu dan tempat. Marxisme akan menjadi sia-sia bila hanya diterima sebagai ide, sementara penerima ide tersebut memunggungi realitas. Demikian sebaliknya, penerapan Pancasila pun membutuhkan ulasan teoritis yang salah satu mata air terbesarnya adalah marxisme.

Bung Karno menyatakan bahwa socio-demokrasi merupakan penggabungan atau perasan dari dua sila; yaitu mufakat atau demokrasi atau kedaulatan rakyat, dan kesejahteraan sosial atau keadilan sosial. Beberapa kalangan mengartikan prinsip musyawarah-mufakat ini sebagai suatu kompromi atau peniadaan kontradiksi dalam masyarakat. Sebaliknya dari itu, justru dalam prinsip ini Bung Karno telah menekankan arti penting perjuangan gagasan dan praktek sesuai dengan keyakinan ideologi masing-masing.

Musyawarah, atau diskusi, atau rembug dalam tradisi Jawa, dibutuhkan karena masyarakat masih hidup dalam kontradiksi. Kontradiksi dalam suatu bangsa atau masyarakat dalam habitat yang sama sebisa mungkin diselesaikan melalui musyawarah tersebut. Diskusi yang paling keras sekalipun akan berguna untuk memajukan pilihan yang terbaik tampil ke depan. Hal ini diungkapkan Bung Karno sebagai berikut:

Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilan tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya.

Situasi “perjuangan faham” di dalam badan perwakilan ini tiada ditemui dalam situasi sekarang. Perdebatan di dalam badan-badan perwakilan lebih banyak berisi hal-hal elementer atau sekadar permainan kata-kata. Sementara hal yang diperjuangkan pun bukanlah perbaikan kondisi bangsa, melainkan sekadar kepentingan individu dan kelompok masing-masing. Mungkin penilaian ini dianggap terlalu merendahkan kualitas badan perwakilan sekarang (DPR/MPR), namun siapapun yang membuka mata hati dan pikiran, dan mau berkata jujur tentang apa yang dilihatnya, akan mengakui keadaan tersebut. Sejak orde baru berkuasa lebih dari empat dekade lalu perjuangan gagasan dalam kehidupan politik memang telah ditumpas habis dan tidak diijinkan untuk tumbuh. Dampaknya bisa kita rasakan hari ini, bahwa pemahaman terhadap gagasan politik menjadi begitu dangkal sehingga melemahkan kekuatan rakyat.

Sementara dalam prinsip “kesejahteraan sosial” atau “keadilan sosial” menekankan tujuannya yaitu: “tidak akan ada kemiskinan di bumi Indonesia Merdeka”. Bagaimana meniadakan kemiskinan tersebut? Hal ini diulas oleh Bung Karno dalam hubungan dengan sistem politik yang terbangun, atau dengan prinsip demokrasi yang disebutkan sebelumnya. Dengan mengambil contoh dari tata pemerintahan di negeri-negeri Barat, Bung Karno menyimpulkan bahwa “demokrasi politik” saja tidak cukup. Dalam demokrasi versi Barat ini, kaum buruh bisa mempunyai perwakilan di parlamen yang bisa menjatuhkan menteri, atau merombak kabinet. Namun saat berada di tempat kerjanya ia (buruh) dapat dilempar oleh pemilik perusahaan menjadi seorang pengangguran tanpa bisa berbuat apa-apa.

Oleh karena itu, dari gambaran model demokrasi yang dipilih, tampak hubungan yang erat antara sila “musyawarah-mufakat” dengan “keadilan sosial”. Kedua sila ini yang antara lain dijelaskan sebagai berikut: 

Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economiche democratie, yaitu politieke democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.

Dalam konsep socio-demokrasi yang dianut Bung Karno, kedaulatan rakyat mendapat tempat tertinggi di lapangan politik dan ekonomi sekaligus. Kedaulatan politik tidak dimaknai secara formal sebagaimana hak-hak sipil politik yang saat ini telah diadopsi dari konvenan PBB ke dalam peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu ditekankan pentingnya keadilan dalam bidang sosial ekonomi yang kemudian tercermin dalam konstitusi hasil proklamasi kemerdekaan. 

Eka sila: Azas Gotong-Royong

Gotong-Royong pada dasarnya adalah suatu azas dari tata kehidupan dan penghidupan Indonesia asli.  Akan tetapi Gotong-Royong bukan sekedar satu sifat indonesia Identity! Gotong-Royong adalah juga satu keharusan dalam perjuangan melawan imperialisme.

Dalam Gotong-Royong tersimpul kesadaran bekerja baik bekerja jasmani maupun rohani dalam usaha untuk karya bersama, yang terkandung di dalamnya kesadaran dan sikap-jiwa untuk menepatkan kerja sebagai kelengkapan hidup.

Gotong-Royong adalah suatu gerak dinamik, suatu tenaga gerak yang terjadi karena kepentingan individu tidak ditinggalkan dalam menuju kepentingan bersama. Gotong royong bukanlah suatu paksaan, seperti yang disangkakan banyak orang. Dalam masyarakat gotong-royong tidak ada pertikaian antar individu yang menghambat kemajuan kepentingan bersama. Maka dari itu, kalau jiwa gotong-royong terus kita pupuk dan kita isi dengan pengetahuan dan teknik modern, alangkah besar gunanya bagi kemajuan negara dan bangsa kita.

B.   Pancasila Sebagai Landasan Negara

Pada waktu pancasila untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Ir. Soekarno, maksudnya ialah untuk menjadikannya sebagai dasar negara. kalau kita boleh mengambil perumpamaan maka Pancasila adalah adalah dasar atau landasan tempat gedung Republik Indonesia itu didirikan.

Pancasila adalah filsafat, dasar pandangan hidup negara kita. Pandangan hidup ini bukan saja tujuan, tetapi juga jalan untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia. Pancasila adalah tujuan kemana tenaga, pikiran, rasa, dan jiwa harus dikerahkan. Pancasila adalah tempat dimana seluruh kesetian harus diletakkan. Jadi Pancasila sebagai pandangan hidup, menyangkut segala perbuatan kita. Bangsa kita membutuhkan satu dasar yang memberi arah bagi peri-kehidupan Negara. Arah yang dapat mempersatukan semua elemen bangsa dan kearah mana bangsa ini akan berjalan.

Bangsa Indonesia membutuhkan suatu dasar yang dapat mempersatukan. Suatu persatuan bukan saja hanya untuk menumbangkan Imperialisme, tetapi juga untuk mempertahankan Negara yang telah kita proklamirkan dan yang hendak di tumbangkan kembali oleh imperialism itu.

Kita tidak dapat mengadakan aksi melawan Imperialisme, tampa mengenali keadaan-keadaan  di Indonesia. Imperialisme adalah suatu paham (stelsel kapitalisme) yang harus di lawan dengan suatu paham atau suatu keyakinan yang berkesesuain dengan keadaan Indonesia baik secara historikal maupun berkesesuaian dengan keadaan masa kini. Oleh karena itu, Dalam gerak perjuangan kita melawan Imperialisme, harus disadari bahwa tidak ada bangsa yang mempunyai cara berjuang yang sama, perjuangan setiap bangsa mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karenanya, setiap bangsa mempunyai kepribadian sendiri. Sehingga dalam perjuangan melawan Imperialisme, bangsa Indonesia harus mengunakan pendekatan keindonesian dalam merumuskan stratak perjuangannya.

C.   Pancasila Membuktikan Dapat Mempersatukan Bangsa Indonesia

Sejarah pengalaman perjuangan bangsa Indonesia telah melalui berbagai pengalaman perjuangan dan pelajaran-pelajaran perjuangan. Dalam masa perjuangan bangsa yang masih terpecah-pecah serta belum mampu menyatukan kekuatan seluruh rakyat, dimana, perjuangan melawan Imperialisme hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia maka bangsa kita mengalami kegagalan-kegagalan perjuangan. Tetapi akhirnya perjuangan bangsa Indonesia itu berhasil. Apa sebab? Tidak lain ialah karena mampu mempersatukan rakyat dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia adalah bangsa Egaliter, terdiri dari berbagai aliran kepercayaan dan golongan, adat istiadat, beragam bahasa daerah, terdiri dari ribuan pulau yang di huni oleh berbagai macam suku. Mempersatukan seluruh bangsa Indonesia akan sangat sulit jika tidak di atas satu pijakan yang merupakan fundamen dan dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat. Pijakan itu adalah Pancasila.

Bangsa Indonesia harus mempunyai keyakinan, mempunyai kesadaran, mempunyai kepercayaan. Dan kepercayaan bangsa Indonesia harus lebih besar dari bangsa sendiri, lebih luas dari bangsa Indonesia sendiri. Keyakinan, kesadaran dan kepercayaan itu, berupa Pancasila.  Pancasila mengutamakan daripada rasa kebangsaan, keinginan menjadi bangsa yang kuat, mengadakan suatu masyarakat yang adil dan makmur.

D.  Perjalanan Pancasila

Pancasila adalah identitas masyarakat Indonesia, adalah corak kehidupan masyarakat Indonesia, Di gali kembali dari dalam bumi Indonesia dalam bentuk lima mutiara bangsa Indonesia yang terkubur lama dalam masa kolonialisasi dan dipersembahkan kembali oleh Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 di depan anggota BPUPKI dan di terima sebagai dasar Negara indonesia. Dalam bentuk naskah resmi pertama kali di muat dalam dokumen Piagam Jakarta.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila di cantumkan kembali dalam UUD 1945 hasil proklamasi. Kemudian dibawah konstitusi Republik Indonesia Serikat dari tanggal 27 Desember 1949 s/d 15 Agustus 1950, Pancasila kembali di cantumkan dalam mukddimah konstitusi tersebut. Pancasila tetap di cantumkan kembali sebagai dasar negara di bawah UUD Sementara RI (15 Agustus 1950) sampai dengan di keluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pembubaran konstituante berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959,  karena di anggap gagal menyusun suatu UUD yang baru, maka di berlakukanlah kembali UUD 1945. Dan pancasila tetap di jadikan sebagai dasar Negara.

Pancasila dijaman Orde Baru, adalah fase awal penghianatan terhadap nilai-nilai Pancasila, Oleh Orba, Pancasila di saktikan/disakralkan bahkan di gunaklan sebagai alat untuk memberangus kelompok-kelompok yang anti atau berbeda haluan politik terhadap pemerintahan Orde Baru.

Pancasila diera reformasi dihadapkan pada paham Neoliberalisme yang semakin massif di laksanakan oleh rezim pemerintahan, sehingga  nilai-nilai pancasila menjadi absen dalam kehidupan masyarakat.

Hambatan dalam pengamalan Pancasila.

Pelaksanaan atau realisasi Pancasila dalam masyarakat sebagai dasar kesadaran pembangunan bangsa terus tekikis dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan oleh beberapa hal;

1.      Terjadinya krisis idiologi pada pejabat-pejabat pemerintahan berimplikasi pada watak kebijakan pemerintah yang sangat jauh dari kesejahtraan rakyat dan merupakan sebuah krisis idiologi yang semakin menjauhkan apparatus pemerintahan dari nilai-nilai kehidupan Pancasila.

2.      Kampanye dan propaganda Neoliberalisme yang semakin luas, menyebarkan paham konsumerisme, individualisme, hedonisme dll, akan sangat berkonstribusi terhadap pengikisan kesadaran masyarakat pada nilai-nilai Pancasila.

3.      Masih adanya anasir-anasir sisa-sisa Orba menjadikan pancasila sebagai doktrin kaku. Dengan upaya menghilangkan unsur-unsur progresif dalam tubuh Pancasila.

Oleh karena itu, menjadi tugas gerakan kedepan untuk mempropogandakan secara meluas dan utuh, pentingnya kembali melaksanakan nilai-nilai pancasila sebagai bangun dasar kesadaran secara konsisten, dalam membangun Indonesia pada pemenuhan cita-cita bangsa, yakni menciptakan suatu bentuk masyarakat Indonesia yang berkehidupan adil dan makmur.

Sosialisme Indonesia Sebagai Cita-Cita Pancasila

Sosialisme Indonesia adalah suatu ajaran dan gerakan tentang tata masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan merupakan tuntutan Amanat Penderitaan Rakyat. Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila  sebagai perwujudan Sosialisme Indonesia bersendi pokok pada keadilan, kerakyatan dan kesejahtaraan. Unsur-unsur keadilan, karakyatan dan kesejahtraan terkandung dalam azas kekeluargaan dan Gotong-Royong yang merupakan ciri-ciri pokok dari kepribadian Indonesia seperti di rumuskan dalam Pancasila. sehingga, sosialisme ala’ Indonesia adalah perpaduan antara unsur sosialisme yakni, kesejahtraan dan keadilan dipadukan dengan kepribadian bangsa indonesia yaitu, gotong royong

Dasar dan tujuan Revolusi Indonesia untuk mewujudkan sosialisme Indonesia adalah keadilan sosial, kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa dan lain-lain perwujudan derajat dan mutu kemanusiaan. Yakin akan kebenaaran, bahwa keadilan sosial dan kemerdekaan adalah tuntutan budi nurani yang universal.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar