LMND

LIGA MAHASISWA NASIONAL UNTUK DEMOKRASI

Rabu, 26 Desember 2012

Sistem Pendidikan Indonesia




Gerak maju tiap perubahan dan perkembangan peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari pengorganisiran cara produksi terus menerus yang dilakukan melalui serangkaian aktifitas manusia. Perkembangan yang terus berubah dalam tiap fase perkembangan masyarakat didorong serta oleh kemampuan manusia memahami dan memetik pelajaran dari setiap aktifitas kehidupan. Proses pengorganisiran pengalaman adalah wujud perkembangan pengetahuan manusia yang seiring waktu tumbuh kesadaran akan pentingnnya memahami setiap aktivitas kehidupan.
Perkembangan hubungan produktif masyarakat juga berperan penting dalam reorganisasi pengetahuan masyarakat dalam membentuk perkembangan-perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan peradaban manusia memiliki saling hubungan yang erat terhadap pertumbuhan pengetahuan dan ilmu pengetahuan masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan pendidikan manusia akan berpengaruh terhadap dinamika sosial-budaya masyarakat. Sejalan dengan itu, pendidikan akan terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan.
Pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, tidak terbatas hanya sebagai penopang perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu teknologi, ilmu sejarah, ilmu sosial dan ilmu ekonomi. Tetapi, syarat pembangunan rohaniah yang sehat dan kuat adalah antara lain dengan mengembangkan pendidikan kearah yang memanusiakan.
1.    Pendidikan Indonesia Prakolonialisme

Pembahasan mengenai perkembangan pendidikan dimasa sebelum datangnya kolonialisme dinusantara, perkembangan pendidikan dimulai dari lahirnya beberapa kerajaan-kerajaan hindu pada abad ke-5 masehi, diantaranya: kerajaain Hindu di kutai (Kalimantan) dan kerajaan Hindu Tarumanegara di Jawa Barat dengan rajanya Purnawarma.

Lembaga-lembaga Pendidikan dinusantara telah ada sejak periode permulaan, pada masa itu pendidikan lekat terkait dengan pendidikan keagamaan. Seorang peziarah yang bernama I-Ching yang berasal dari cina, ketika singgah dinusantara (Sumatra pada abad ke-7 masehi) dalam perjalannya menuju India, mendapatkan kuil-kuil budha dimana terdapat banyak cendikiawan yang megajarkan beragam ilmu dikuil-kuil tersebut. Dalam catatan I-Ching ada banyak biksu yang berdiam dikuil-kuil tersebut. Diantara para guru tersebut yang paling terkenal adalah Sakyakirti dan Dharmapala.

Kerajaan sriwijaya merupakan kerajaan nusantara yang mengalami perkembangan pesat dalam bidang pendidikan. Bahkan, dalam abad ke-8 kerajaan sriwijaya telah menjadi Pusat pendidikan dan penyebaran agama budha di Asia Tenggara.  Kemajuan dalam bidang kebudayaan sebagai hasil dari perkembangan tingkat pendidikan dalam kerajaan Sriwijaya dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan kerajaan Sriwijaya seperti Stupa, candi atau patung, arca-arca peninggalan budha.

Sementara pada masa kejayaan kerajaan Majapahit, kehidupan religius telah memberikan andil yang cukup besar dalam perkembangan peradaban majapahit.  Pendidikan dalam masa kerajaan Majapahit, berbentuk asrama-asrama khusus untuk melakukan proses pendidikan. sebagai kerajaan Hindu terakhir yang runtuh pada Abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuan yang dikembangankan dalam kerajaan Majapahit seperti bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, ilmu tatanegara dan kemiliteran tetap berkembang.

Pada masa hindu-budha, kaum Brahmana inilah yang menyelenggarakan pendidkan dan melakukan pengajaran. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain.

Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389).

Dengan bertambahnya populasi penduduk dan peningkatan standar pendidikan yang dipegang oleh kaum Brahmana, secara berlahan muncullah sistem birokrasi, yang tersusunn atas: hierarki abdi kerajaan, bangsawan dan tuan tanah, di masa kerajaan Hindu-Budha

2. Pendidikan Era Penjajahan kolonialisme dan Jepang
a.    Masa Kolonial Belanda
Kedatangan Kolonial dinusantara pada tingkat pertama adalah hendak berdagang dengan mendapatkan keuntungan. Didorong oleh perkembangan kekuatan-kekuatan produksi kapitalisme yang luas dan deras menuntut wilayah yang luas, padat/kompak secara politik, sehingga dibutuhkan tempat berpijak untuk berdagang agar dapat memberbesar dan melakukan stabilisasi, dengan melakukan tindakan penguasaan yang akhirnya berbentuk penjajahan.

Dalam tahun 1900an, Stabilisasi perekonomian Kolonial yang semakin terkonsentrasi dinusantara, membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan perluasan kelas pegawai pemerintah seiring dengan meluasnya penetrasi ekonomi kolonial Belanda ditahun 1900-1940an.

Pendidikan selama masa kolonialisme belanda terjadi dalam dua periode besar, yaitu masa VOC dan masa pemerintahan hindia belanda (Nederlands indie). Pendidikan dinusantara pada fase VOC , tidak lepas dari kepentingan komersialisasi VOC sebagai kongsi dagang. Pembangunan pendidikanpun hanya diarahkan pada penciptaan tenaga kerja terampil dikalangan kaum bumi putra dengan upah yang sangat rendah, untuk dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan dagang VOC. Secara beriringan, penjajahan kolonialisme semakin menyengsarakan kaum bumi putra. Sehingga, perkembangan pendidikan dimasa ini tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Kecuali usaha menyebarkan agama mereka (Kolonialisme) dibeberapa pulau dibagian timur Indonesia.
Setelah VOC mengalami keruntuhan pada tahun 1816,  pendidikan masa VOC tidak mengalami perkembangan dan berkecenderungan gagal, maka dimasa pemerintan yang baru dengan ide-idenya yang beraliran Aufklarung yang berkeyakinan bahwa pendidikan dapat dijadikan alat untuk mencapai ekonomi sosial. Pada 1808, Deandels memerintahkan kepada bupati-bupati dijawa mendirikan sekolah atas usaha dan biaya sendiri. Sekolah pertama di Indonesia dididirikan pada tahun 1818 (ELS;  Europeesche Lagere School), yang peruntukan pendiriannya untuk anak-anak Belanda.
Pada tahun 1819-1823, Gubernur Jendral Belanda Van der Capellen menganjurkan pendidikan rakyat untuk menyediakan sekolah bagi penduduk untuk membaca dan menulis, tetapi usaha ini tidak berhasil akibat terjadinya penghematan karena adanya kesulitan keuangan yang dihadapi Belanda sebagai akibat perang dipenegoro (1825-1830) serta peperangan Belanda-Belgia (1830-1839) yang mahal dan memakan banyak korban.
Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja belanda untuk meninggalkan prinsip-prinsip liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van den Bosch, bekas Gubernur di Guyana, jajahan Belanda di Amerika selatan, memanfaatkan pekerjaan budak menjadi dasar eksploitasi Kolonial. Ia membawa ide penggunaan kerja paksa(rodi) sebagai cara yang ampuh untuk memperoleh cara usaha maksimal, yang kemudian terkenal dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang memaksa penduduk untuk menghasilkan tanaman yang diperlukan dipasaran Eropa.
Van den Bosch mengerti, bahwa untuk memperbaiki stesel pembangunan ekonomi bagi belanda dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang banyak. Setelah tahun 1848 dikeluarkan peraturan-peraturan yang menunjukan pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan diparlemen Belanda dan mencerminkan sikap Liberal yang lebih menguntungkan tehadap rakyat Indonesia. Terbongkarnya penyalahgunaan system tanam paksa merupakan factor dalam perubahan pandangan. Peraturan pemerintah tahun 1854 mengimtruksikan Gubernur Jendral untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi pendidikan anak pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan Gubernur Jendral untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumi putera pada umumnya menikmati pendidikan.
Sistem tanam paksa dihapuskan tehun 1870 dan digantikan dengan undang-undang Agraria 1870. Pada tahun itu di Indonesia timbul masalah baru dengan adanya undang-undang Agraria dari De Waal, yang memberi kebebasan pada pengusaha-pengusaha pertanian partikelir. Usaha-usaha perekonomian makin maju, masyarakat  lebih banyak lagi membutuhkan pegawai. Sekolah-sekolah  yang ada dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha mencetak calon-calon pegawai makin dipergiat lagi. Kini tugas departemen adalah memelihara sekolah-sekolah yang ada dengan lebih baik dan mempergiat usaha-usaha perluasan sekolah-sekolah baru.
Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini disebabkan:
  1. Hasil sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah kolonial. Hal ini terutama sekali desebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.
  2. Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf bahwa yang harus mendapat pengajaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
  3. Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan dilapangan pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisa bawah.
Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran bumi putra, keluarlah indisch staatsblad 1893 nomor 125 yang membagi sekolah bumi putra menjadi dua bagian: (pertama). Sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum terkemuka. Dengan masa pendidikan  5 tahun, menggunakan bahasa melayu/daerah sebagai pengantar dan tujuan dari pendidikan kelas satu ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan dan perusahaan. (kedua)  sekolah kelas II untuk untuk rakyat jelata, masa pendidikan 3 tahun yang bertujuan memenuhi pengajaran rakyat umum.
Jenis-jenis sekolah yang didirikan dalan fase kolonialisme di indonesia:
a.    Sekolah dasar
1.      ELS (Europeesche Lagere School) didirikan pada tahun 1818 dan merupakan sekolah pertama yang didirikan dibatavia.
2.      Sekolah Kelas Dua (De Scholen der Eerste Klase), merupakan hasil reorganisasi pendidikan dasar 1892, sekolah kelas satu pada tahun 1908 berubah menjadi HCS (Holandsch Chineesche School) dan HIS ( Holandsch Inlandsche School )  1914.
3.      Sekolah Raja (Hoofden School) 1865 (Tondano) , 1878 (Bandung). Pada tahun 1900 berubah menjadi STOVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang ditingkatkan menjadi sekolah menengah MOSVIA
4.      Sekolah Desa (Volkschool) didirikan pada tahun 1907 atas inisiatif para Bupati dan Residen
5.      Sekolah Lanjutan (Vervolgschool ) th 1914 bagi lulusan sekolah desa
6.      Sekolah Peralihan (Schakel School) pada tahun 1921, merupakan jembatan masuk MULO dari sekolah desa.

b.    Sekolah Lanjutan Menengah
1.      Sekolah peertukangan Swasta (Ambachts School) tahun 1856 di Betawi
2.      Sekolah Militer Pemerintah (Pupillen Korps) tahun 1854 di Kedungbongo
3.      Sekolah Guru (Kweekschool) . 1851 di Surakarta dan tahun 1875 dipindahkan ke Magelang , 1856 (Bukittinggi - Fort de Kock), 1864 (Tapanuli – Tanah Batu), 1873 (Tondano) , 1874 (Ambon), 1875 (Probolinggo dan Banjarmasin), 1876 (Makasar) dan 1879 (Padang Sodempuan), sebagai antisipasi pembukaan sekolah dasar bagi bumi putra.
4.      Sekolah Dokter “ Jawa “(Inlandsch Geneeskundige) th 1875 , 1902 menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), 1913 menjadi NIAS (Nederlandsch- Indische Artisen School) dan 1927 menjadi Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool).
5.      Sekolah Dasar yang diperluas - MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) tahun 1914
6.      Sekolah Menengah Umum – AMS (Algemeene Middelbare School) tahun 1915.
7.      Sekolah Tinggi Warga Negara - HBS (Hogere Burger School) 1860
8.      Pendidikan Kejuruan (Vakonderwijs) : Sekolah Pertukangan (Ambachts Leergang dan Ambachts School) , Sekolah Pertanian (Landbouw School – 1903) sementara Sekolah Pertanian Menengah Atas (Midelbaar Landbouw School) baru dibuka th 1911 , Sekolah Teknik (Technisch School - 1906), Sekolah Dagang Menengah (Midelbaar Handels School – 1935), Sekolah Kepandaian Putri (Lagere Nijverheid School Voor Meisjes- 1918), Sekolah Van Deventer, Sekolah Guru TK (Frobel Onderwijs).

c.    Pendidikan Tinggi
1.      Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS-1927) menerima lulusan HBS (Hogere Burger School)  dan AMS (Algemeene Middelbare School), STOVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) dan lulusan NIAS  (Nederlandsch- Indische Artisen School).
2.      Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hoge School – 1924), berawal dari Sekolah Hukum (Rechts Hoge School – 1924)
3.      Sekalah Tinggi Teknik (Technisch Hoge School - 1920)
Diperlukannya suatu pijakan yang kuat bagi kolonialisme Belanda dalam mengorganisasikan keuntungan dari negara jajahan, berimbas pada politik pendidikan kolonial yang sesuaikan dengan watak politik Belanda pada masa itu. Berhubungan dengan ini, watak dan praktek pendidikan kolonial dapat dilihat dalam beberapa cirri seperti:
1.      Sistem Dualisme; Dalam system dualisme diadakan garis pemisahan antara system pendidikan untuk golongan Eropa dan system pendidikan unutk golongan bumi putra. Jadi disini diadakan garis pemisah sesuai dengan politik Kolonial yang membedakan antara bumi putra dan pihak penjajah.
2.      System Korkondasi; Sistem ini berarti bahwa pendidikan didaerah penjajahan disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di Belanda. System ini diasumsikan bahwa dengan System yang berkondasi dengan system yang ada di negeri Belanda, maka mutu pendidikan terjamin setingkat pendidikan di Negara Belanda.
3.      Sentralisasi pendidikan; Kebijakan pendidikan dizaman kolonial diurus oleh departemen pengajaran. Departemen ini yang mengatur segala sesuatu mengeani pendidikan dengan perwakilannya yang terdapat dipropinsi-propinsi Besar.
4.      Menghambat  gerakan nasional; Pendidikan pada masa itu sangat selektif karena bukan diperuntukan untuk masyarakat pribumi putra untuk mendapatkan pendidikan dengan seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi. Didalam kurikulum pendidikan kolonial pada waktu itu, misalnya sangat dipentingkan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda. Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi putra harus menghapal kota-kota kecil yang ada di negeri Belanda.
5.      Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis;  Perkembangan pendidikan merupakan rangkaian kompromi antara usaha pemerintah untuk memberikan pendidikan minimal bagi pribumi dan tuntutan yang terus menerus dari pihak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan orang Belanda.

b.    Masa Fasisme Jepang
Negara fasisme Jepang yang berhasil menaklukan pemerintahan Belanda di Indonesia pada tahun 1942, didorong oleh semangat membentuk Asia Timur Raya dengan konsep kemakmuran bersama Asia Raya. Dalam konteks perang dunia yang menuntut militer yang kuat, maka pengelolaan pendidikan di Indonesia oleh Jepang sangat dipengaruhi oleh tujuan memdukung kemenangan militer jepang dalam perang pasifik.
Atas kekalahan Belanda oleh Jepang, jepang kemudian menutup semua sekolah berbahasa Belanda dan mulai menerapkan beberapa kebijakan tentang pendidikan, diantarnya: (1). Dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan bahasa Belanda (2). Adanya integrasi sistim pendidikan dengan dihapuskannya sistim pendidikan berdasarkan kelas sosial diera penjajahan Belanda. 
Setelah mengalami kegagalan membangunan pendidikan di Mancuria dan Cina yang menggunakan konsep atau sistim Nipponize (Jepang-isasi) dan konsep pendidikan triple Movement di Indonesia, maka Pembangunan pendidikan yang dilakukan di Indonesia banyak melibatkan tokoh-tokoh pribumi seperti Soekarno, Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943 dan mencocokan format kurikulum pendidikan serta mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal, Setahun kemudian pendidikan yang dibangun Jepang inipun mengalami kegagalan, sehingga Jepang, pada masa akhir kedudukannya mencoba kembali untuk menerapkan sistim Nipponize. Hal ini, ditandai dengan dikerahkannya Sendenbu (propogandis Jepang) untuk menanamkan idiologi yang diharapkan dapat menghancurkan semangat persatuan bangsa Indonesia.


Sistem pendidikan Indonesia zaman Jepang:
1.      Pendidikan dasar (kokumin Gakko/sekolah rakyat). Sekolah Rakyat (SR) merupakan konversi nama dari sekolah dasar kelas I ELS (Europeesche Lagere School) dan sekolah Kelas II (De Scholen der Eerste Klase) pada masa Penjajahan Belanda.
2.      Pendidikan lanjutan terdiri dari Shoto Chu Gakko (sekolah menengah pertama) dan Koto Chu Gakko (sekolah menengah tinngi)
3.      Pendidikan kejuruan. Mencakup seklah lanjutan bersifat vokasional antara lain dalam bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan,teknik dan pertanian.
Selain mencocokan kurikulum pendidikan yang bermuatan lokal, materi  pokok seperti Indoktrinasi ideology Hakko Ichiu, Nippon Seisyin (latihan kemiliteran dan semangat Jepang), bahasa dan adat istiadat Jepang merupakan bagian dari proses pendidikan dan pelatihan terhadap guru-guru dalam sekolah-sekolah yang didirikan Jepang.
3. Pendidikan Dimasa Orde Lama; Soekarno
Tentara jepang yang semakin terdesak didalam perang Asia Raya, menyebabkan jatuhnya kabinet Tojo pada tanggal 17 Juli 1944, kemudian digantikan oleh kabinet PM. Koiso. Dalam kondisi keterdesakan Jepan inilah, PM. Koiso mengeluarkan janji kemerdekaan bagi Indonesia. Terjadinya Kekosongan kekuasaan setelah Jepang takluk kalah kapada sekutu dimanfaatkan untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tangaal 17 Agustus 1945.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 hasil proklamasi, menjelaskan bahwa salah satu tujuan dan tugas mendirikan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sistem pemerintahan berganti, berganti pula ideologi/cita-cita negaranya. Pada masa pemerintahan Soekarno, skenario yang pertama kali dilakukan oleh Soekarno dan kabinetnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semenjak  proklamasi 17 agustus 1945, sekolah-sekolah yang telah dibangun pada masa pendudukan Jepang dilanjutkan dengan serba kekurangan. Namun demikian, dasar-dasar  pendidikan nasional telah disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya.
Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya.
Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari tujuan negara atau pemerintah. Pada masa kepemimpinan bung Karno, pemerintahannya menginginkan pembentukan masyarakat sosialis Indonesia. Untuk itu, tujuan pendidikan disesuaikan dengan tujuan negara. Walau bagaimanapun, hal ini dianggap penting karena dengan adanya penyesuaian tujuan pendidikan dengan tujuan pemerintah atau negara, maka menjadi jelaslah arah pelaksanaan pendidikan pada suatu negara.
Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dibandingkan dengan sekarang, yaitu tidak ada kejelasan tujuan pendidikan yang dilaksanakan dan cenderung diwarnai arus menyambut globalisasi serta mengesampingkan akar kebudayaan bangsa, maka diperlukan pembahasan mengenai salah satu pendidikan yang pernah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, yang sesuai dengan tujuan negara, yaitu pendidikan sosialisme Indonesia oleh pemerintahan Ir. Soekarno (1961-1966). Menteri pendidikan pertama Ki Hajar Dewantara beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekaan mengeluarkan Instruksi Umum, yang isinya : menyerukan kepada para guru supaya membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan patriotisme. Selain itu,anak yang berumur 8 tahun diwajibkan memperoleh pendidikan Sekolah Dasar.
Pelaksanaan wajib belajar menghadapi berbagai masalah, Jumlah sekolah dan guru belum memadai apalagi wajib belajar itu akan dilaksanakan. Jumlah guru yang dididik masih sangat terbatas, selain lulusan sekolah-sekolah guru Zaman kolonial. Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan system yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial.
Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada Orde Lama. Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi.
Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR. Pendidikan sosialisme Indonesia yang dijalankan oleh pemerintah, ditingkatan kebijakan, sampai penerapannya dilingkungan pendidikan formal, SMP, SMA, dan perguruan tinggi, merupakan salah satu cara mensejalankan tujuan pendidikan dengan tujuan negara. Pemerintah membuat suatu kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan lahirlah mata pelajaran Ilmu Kewargaan Negara atau Civics yang diajarkan di tingkat SMP dan SMA.
Indonesia di era Soekarno, merupakan negara yang syarat dengan cita-cita sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang pendidikan. Statuta Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas menyatakan bahwa tujuanUGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak perubahan pada isinya di mana salah satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme pendidikan Indonesia.
Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945. Indonesia bahkan mampu mengekspor guru ke Negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. Tahun 1960-an terjadi peningkatan luar biasa perguruan-perguruan tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Jargon “study, work, rifle” atau “belajar, berkarya, dan senjata” merupakan satu jargon yang juga dipakai oleh beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar pada era tersebut.
Semangat antikolonialisme setelah lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang dijawantahkan dengan semangat membangun sosialisme, termasuk dalam hal pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialis (seperti dilakukan kolonial Belanda).
Masa soekarno adalah orde di mana semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama, dan sebagainya. Begitu juga dalam dunia pendidikan. Orde Lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesame warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa. Di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bebas beroroganisasi sesuai dengan pilihan atau keinginannya. Inilah salah satu era keemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Kebijakan pendidikan saat itu dilakukan secara sentralistik, kebijakan pendidikan di masa itu diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi pembangunan manusia Indonesia. Pendidikan pada masa ini diarahkan untuk memenuhi kemandirian ekonomi Indonesia. Dimana-mana mulai dibuka lembaga-lembaga pendidikan baru (tentunya selain sekolah peninggalan Belanda) dari sekolah dasar sampai sekolah tinggi sebagai sarana peningkatan kualitas pengetahuan rakyat. Semangat diskriminatif di dalam sekolah formal mulai dikikis. Anak-anak dari kalangan buruh dan tani mulai bisa menikmati dan mengenyam bangku pendidikan.
Pada era Soekarno terjadi kemajuan sumber daya manusia, yang mana dapat kita lihat dari banyaknya tenaga terdidik Indonesia yang digunakan sebagai tenaga pendidik di negara lain. Selain itu juga semakin banyaknya para siswa dari negara lain yang datang bersekolah diIndonesia.
Secara yuridis, pemikiran tentang pendidikan nasional dapat dilacak dalam undang-undang nomor 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran disekolah (lembaran Negara tahun 1950 nomor 550), yang pelaksanaannya ditegaskandalam UU no.12 th.1954, tentang pernyataan berlakunya UU no.4 th.1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia (lembaran Negaratahun 1954 nomor 38. Tambahan lembaran Negara nomor 550).Tujuan dan dasar pendidikan pada orde Lama dapat dilihat pada pasal 3 dan 4.Pasal 3: “Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakatdan dan tanah air ”Pasal 4:“ Pendidikan dan pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”. Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa Indonesiapun menunjukan kepeduliannya terhadap pendidikan. Hal itu terbukti dengan menempatkan usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia. Sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Pada tahun 1965, Pendidikan Nasional telah memiliki pondasi atau identitasnya, yaitu Pancasila, ketika terkait dengan fungsinya sebagai transformasi sosial. Namun jauh sebelum penegasannya, pendidikan sebagai transformasi sosial sendiri sebenarnya dimulai pada tahun 1959, ketika Soekarno memberikan penegasan mengenai ideologi bangsa yang berdasarkan budaya dan pengalaman sejarah bangsa Indonesia, dan kemudian menempatkan pendidikan untuk mewujudkan ideologi bangsa.
Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, kurikulum harus mencerminkan kepada falsafah sebagai pandangan hidup suatu bangsa, karena ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa itu kelak, banyak ditentukan dan tergambarkan dalam kurikulum pendidikan bangsa.
Kemudian setelah Indonesia merdeka, terjadi dua kali perubahan kurikulum, yang pertama dilakukan dengan dikeluarkannya rencana pelajaran tahun 1947 yang menggantikan seluruh sistem pendidikan kolonial, kemudian pada tahun 1952 kurikulum ini mengalami penyempurnaan. Perubahan kedua terjadi dengan dikeluarkannya rencana pendidikan tahun 1964.
4.    Pendidikan Dimasa Orde Baru; Soeharto
Sebagaimana sistim politik pada era itu, maka menajeman pendidikan dilakukan secara sentralistik. Sekolah-sekolah sebagai pelaksana pendidikan tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk  ikut serta menyusun rumusan pendidikan nasional. Semua kebijakan pendidikan ditentukan oleh pemerintan pusat. Sejalan dengan pemerintahan Orde Baru yang otoriter, masalah pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintahan soerharto untuk melakukan indoktrinisasi kepada rakyat.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru diarahkan pada penyeragaman. Pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman didalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima. Pembangunan tidak  berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik, melainkan bergantung pada hutang luar negeri sehingga melahirkan sistem yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Berbagai layanan publik tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikut sertakan di dalam manajemennya. Bentuk pembangunan pada saat itu mengingkari kebhinekaan serta semakin mempertajam bentuk  primordialisme.
Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas melainkan pada target kuantitas. Rezim berganti, ideologi dan politik pendidikan pun berganti. Awalnya perubahan ideologi dan politik ini belum berubah tajam, sampai suatu hari terjadi krisis minyak dunia pada awal 1980-an, yang membuat negara mengetatkan anggaran. Ketergantungan pada ekspor minyak seketika mendatangkan malapetaka karena harga minyak turun drastis di kala hutang luar negeri juga jatuh tempo. Anggaran untuk publik diketatkan termasuk di bidang pendidikan. Seketika rakyat masuk dalam sistem pendidikan pasar yang memperbesar ketimpangan si kaya dan si miskin.
Gaji guru tidak lagi mampu mendukung kebutuhan minimal untuk mengajar dengan tekun dan baik. Ekstensifikasi pendidikan berjalan lambat karena keterbatasan anggaran. Para penguasa terlalu banyak mencampuri dan “mengarahkan“ sistem pendidikan ini, sehingga apa yang disebut filsafat pendidikan nyaris tidak terefleksikan dalam setiap tindakan pendidikan maupun pembelajaran. Sistem pendidikan, ataupun mungkin lebih sempit dari itu : sistem persekolahan terlalu banyak digunakan sebagai transmisi sosial membangun kehidupan bersama dan menomor duakan kebhinekaan. Konvergensi dan kesamaan tujuan pembangunan. Dengan demikian membangun manusia Indonesia seutuhnya sebenarnya telah direduksikan dalam tindak pendidikan. Demikian pula tujuan pendidikan juga mengacu pada tujuan pembangunan bangsa dan negara yang menuntut konvergensi perilaku, bahkan hal-hal yang original,lateral dan baru dianggap mengganggu keselarasan dan kesesuaian corak kehidupan hari ini. Ini berarti, bahwa sistem pendidikan bersifat status quo karena kemungkinan mengadakan inovasi dan bertindak kreatif, menuntut divergensi berfikir dan originalitas yang kurang diperhatikan karena suasana belajar sifatnya uniform.
Disamping itu lebih diprioritaskan stabilitas dan keseragaman kontinuitas. Akhirnya kembali pemerintah meletakkan lembaga pendidikan sebagai bagian dari birokrasi negara yang mengalami pengetatan aturan. Rektor ditunjuk Menteri, Kepala SMA, SMP ditunjuk Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan untuk Kepala SD. Hal ini untuk mencegah berujungnya dinamika kaum muda pada pengkritisan kebijakan orde baru yang otoriter serta hanya menyejahterakan segelintir rakyat Indonesia di masa itu.
Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus 1978 memang membuat lahirnya ribuan peneliti dari kampus-kampus. Namun sebuah kenyataan juga jika jumlah pengangguran meningkat tajam di tahun 1980-an. Tetapi sekali lagi, kebijakan orde baru yang menempatkan lembaga pendidikan di bawah birokrasi negara yang ketat melahirkan generasi yang gagal. Kegagalan kegagalan pendidikan melahirkan Ketidakpuasanpada rakyat, karena akses terhadap pendidikan yang makin berkurang. Sekolah dan perguruan tinggi swasta menggejala karena keterbatasan pemerintah untuk menyediakan sekolah-sekolah baru. Ekstensifikasi pasar ini kemudian diimbangi oleh Orde Baru dengan proses indoktrinasi. Peng-asastunggal-an ideology.
Rezim Orde Baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif. Walaupun secara kuantitatif rezim ini memang telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup baik di bidang pendidikan. Namun keberhasilan kuantitatif ini, belum terlihat pemberdayaan masyarakat secara luas, sebagai cermin dari keberhasilan suatu sistem pendidikan, dan tidak pernah terjadi. "Mengapa demikian? Karena Orde Baru, setelah lima tahun pertama berkuasa, secara sistematis telah menyiapkan skenario pemerintahan yang memiliki visi dan misi utama untuk melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode. Akibatnya, sistem pendidikan kemudian dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan safety net (jaring pengaman) bagi pelestarian kekuasaan.
Pendidikan produk Orde Baru belum bisa diharapkan untuk membangun dan memberdayakan masyarakat, karena pendidikan yang berjalan pada masa Orde Baru dan produknya dapat dirasakan sekarang ini, sebatas pada sosialisasi nilai dengan pola hafalan, dan kreativitas dipasung.
Sistem pendidikan nasional sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa pada saat itu. Maka selama Orde Baru telah tercipta suatu kehidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Pemerintah Orde Baru yang represif telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia.
5.    Pendidikan Dalam Era Reformasi Sekarang Ini.
Dalam sistem pendidikan sekarang, berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi dari kebijakan sistem pemerintahan Indonesia yang berpihak pada kapitalisme global. Pendidikan direndahkan posisinya sebagai alat elevasi sosial untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ilmu direndahkan menjadi deretan angka-angka indeks prestasi (IP). Akses masuk ke lembaga-lembaga pendidikan semakin terbatas karena formasi sosial tidak memungkinkan warga masyarakat kebanyakan (miskin) menginjak bangku sekolah yang lebih tinggi.
Kebijakan neoliberalisme sebagai ideologi negara dalam praktek pemerintah, berimplikasi pada semua lini kehidupan bangsa Indonesia, termaksud dunia pendidikan. pemaksaan penerapan hukum Ekonomi neoliberalisme pada dunia pendidikan, berdampak pada liberalisasi pendidikan. Pendidikan tidak lagi ditempatkan sebagai alat membangun kepribadian bangsa. Era Neoliberalisme seperti sekarang ini, menjadikan Pendidikan sebagai komoditi bisnis. Tentu saja pihak pemilik modal yang mendapatkan keuntungan yang begitu besar dari sistem pedidikan Indonesia sekarang ini.
Pada tahun 1998, terjadi perubahan status Peguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Upaya pengalihan ini dilakukan untuk mengurangi beban Finansial negara dan menyerahkan sektor pendidikan dalam arena pasar.  Sebagai konsekwensi dari liberalisasi pendidikan, negara melepaskan tanggung jawabnya dalam membiayai pendidikan. hal ini, mendorong lembaga-lembaga pendidikan melakukan pengalangan biaya operasional pendidikan. Lepas tangan pemerintah dalam dunia pendidikan mengkibatkan biaya pendidikan drastis melonjak naik.
Kebijakan pendidikan yang mahal ini memang sangat merisaukan karena akan mengubur impian mobilitas kelas sosial bawah untuk memperbaiki kelas sosialnya. Melalui sistem ini, maka yang bisa diserap dalam lingkungan pendidikan adalah mereka yang memiliki kemampuan financial yang cukup. Lembaga-lembaga pendidikan kian menjadi lembaga elit bahkan menjadi kekuatan yang menghadang arus mobilitas kelas bawah untuk mengakses pendidikan.
Tingkat keberhasilan dan kualitas pendidikan diukur pada tingkat peneriman lulusan tiap tahun dipasar tenaga kerja. Ketika ini menjadi ukuran keberhasilan pendidikan maka kurikulum pendidikan juga akan turut disesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar