Gerak maju tiap
perubahan dan perkembangan peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari
pengorganisiran cara produksi terus menerus yang dilakukan melalui serangkaian
aktifitas manusia. Perkembangan yang terus berubah dalam tiap fase perkembangan
masyarakat didorong serta oleh kemampuan manusia memahami dan memetik pelajaran
dari setiap aktifitas kehidupan. Proses pengorganisiran pengalaman adalah wujud
perkembangan pengetahuan manusia yang seiring waktu tumbuh kesadaran akan pentingnnya
memahami setiap aktivitas kehidupan.
Perkembangan
hubungan produktif masyarakat juga berperan penting dalam reorganisasi
pengetahuan masyarakat dalam membentuk perkembangan-perkembangan ilmu
pengetahuan. Perkembangan peradaban manusia memiliki saling hubungan yang erat
terhadap pertumbuhan pengetahuan dan ilmu pengetahuan masyarakat. Oleh karena
itu, perkembangan pendidikan manusia akan berpengaruh terhadap dinamika
sosial-budaya masyarakat. Sejalan dengan itu, pendidikan akan terus mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan.
Pendidikan
memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, tidak terbatas hanya
sebagai penopang perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu teknologi, ilmu sejarah,
ilmu sosial dan ilmu ekonomi. Tetapi, syarat pembangunan rohaniah yang sehat
dan kuat adalah antara lain dengan mengembangkan pendidikan kearah yang
memanusiakan.
1. Pendidikan Indonesia Prakolonialisme
Pembahasan mengenai perkembangan pendidikan dimasa sebelum
datangnya kolonialisme dinusantara, perkembangan pendidikan dimulai dari
lahirnya beberapa kerajaan-kerajaan hindu pada abad ke-5 masehi, diantaranya:
kerajaain Hindu di kutai (Kalimantan) dan kerajaan Hindu Tarumanegara di Jawa
Barat dengan rajanya Purnawarma.
Lembaga-lembaga Pendidikan dinusantara telah ada sejak periode
permulaan, pada masa itu pendidikan lekat terkait dengan pendidikan keagamaan.
Seorang peziarah yang bernama I-Ching yang berasal dari cina, ketika singgah
dinusantara (Sumatra pada abad ke-7 masehi) dalam perjalannya menuju India,
mendapatkan kuil-kuil budha dimana terdapat banyak cendikiawan yang megajarkan
beragam ilmu dikuil-kuil tersebut. Dalam catatan I-Ching ada banyak biksu yang
berdiam dikuil-kuil tersebut. Diantara para guru tersebut yang paling terkenal
adalah Sakyakirti dan Dharmapala.
Kerajaan sriwijaya merupakan kerajaan nusantara yang mengalami
perkembangan pesat dalam bidang pendidikan. Bahkan, dalam abad ke-8 kerajaan
sriwijaya telah menjadi Pusat pendidikan dan penyebaran agama budha di Asia Tenggara. Kemajuan dalam bidang kebudayaan sebagai
hasil dari perkembangan tingkat pendidikan dalam kerajaan Sriwijaya dapat
diketahui melalui peninggalan-peninggalan kerajaan Sriwijaya seperti Stupa,
candi atau patung, arca-arca peninggalan budha.
Sementara pada masa kejayaan kerajaan Majapahit, kehidupan
religius telah memberikan andil yang cukup besar dalam perkembangan peradaban
majapahit. Pendidikan dalam masa
kerajaan Majapahit, berbentuk asrama-asrama khusus untuk melakukan proses
pendidikan. sebagai kerajaan Hindu terakhir yang runtuh pada Abad ke-15, tetapi
ilmu pengetahuan yang dikembangankan dalam kerajaan Majapahit seperti bidang
bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, ilmu tatanegara dan kemiliteran tetap
berkembang.
Pada masa hindu-budha, kaum Brahmana inilah yang menyelenggarakan
pendidkan dan melakukan pengajaran. Adapun materi-materi
pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra,
ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti,
perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain.
Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389).
Dengan bertambahnya populasi penduduk dan
peningkatan standar pendidikan yang dipegang oleh kaum Brahmana, secara
berlahan muncullah sistem birokrasi, yang tersusunn atas: hierarki abdi
kerajaan, bangsawan dan tuan tanah, di masa kerajaan Hindu-Budha
2. Pendidikan Era Penjajahan kolonialisme dan Jepang
a. Masa Kolonial Belanda
Kedatangan Kolonial dinusantara pada tingkat pertama adalah hendak
berdagang dengan mendapatkan keuntungan. Didorong oleh perkembangan
kekuatan-kekuatan produksi kapitalisme yang luas dan deras menuntut wilayah
yang luas, padat/kompak secara politik, sehingga dibutuhkan tempat berpijak
untuk berdagang agar dapat memberbesar dan melakukan stabilisasi, dengan
melakukan tindakan penguasaan yang akhirnya berbentuk penjajahan.
Dalam tahun 1900an, Stabilisasi perekonomian Kolonial yang semakin
terkonsentrasi dinusantara, membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan
perluasan kelas pegawai pemerintah seiring dengan meluasnya penetrasi ekonomi
kolonial Belanda ditahun 1900-1940an.
Pendidikan selama masa kolonialisme belanda terjadi dalam dua
periode besar, yaitu masa VOC dan masa pemerintahan hindia belanda (Nederlands
indie). Pendidikan dinusantara pada fase VOC , tidak lepas dari kepentingan
komersialisasi VOC sebagai kongsi dagang. Pembangunan pendidikanpun hanya
diarahkan pada penciptaan tenaga kerja terampil dikalangan kaum bumi putra
dengan upah yang sangat rendah, untuk dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan
dagang VOC. Secara beriringan, penjajahan kolonialisme semakin menyengsarakan
kaum bumi putra. Sehingga, perkembangan pendidikan dimasa ini tidak mengalami
perkembangan yang signifikan. Kecuali usaha menyebarkan agama mereka (Kolonialisme)
dibeberapa pulau dibagian timur Indonesia.
Setelah
VOC mengalami keruntuhan pada tahun 1816,
pendidikan masa VOC tidak mengalami perkembangan dan berkecenderungan
gagal, maka dimasa pemerintan yang baru dengan ide-idenya yang beraliran
Aufklarung yang berkeyakinan bahwa pendidikan dapat dijadikan alat untuk
mencapai ekonomi sosial. Pada 1808, Deandels memerintahkan kepada bupati-bupati
dijawa mendirikan sekolah atas usaha dan biaya sendiri. Sekolah pertama di
Indonesia dididirikan pada tahun 1818 (ELS;
Europeesche Lagere School), yang
peruntukan pendiriannya untuk anak-anak Belanda.
Pada
tahun 1819-1823, Gubernur Jendral Belanda Van der Capellen menganjurkan
pendidikan rakyat untuk menyediakan sekolah bagi penduduk untuk membaca dan
menulis, tetapi usaha ini tidak berhasil akibat terjadinya penghematan karena
adanya kesulitan keuangan yang dihadapi Belanda sebagai akibat perang
dipenegoro (1825-1830) serta peperangan Belanda-Belgia (1830-1839) yang mahal
dan memakan banyak korban.
Kesulitan
keuangan ini menyebabkan raja belanda untuk meninggalkan prinsip-prinsip
liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van den Bosch, bekas Gubernur di
Guyana, jajahan Belanda di Amerika selatan, memanfaatkan pekerjaan budak
menjadi dasar eksploitasi Kolonial. Ia membawa ide penggunaan kerja paksa(rodi)
sebagai cara yang ampuh untuk memperoleh cara usaha maksimal, yang kemudian
terkenal dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang memaksa penduduk untuk
menghasilkan tanaman yang diperlukan dipasaran Eropa.
Van den
Bosch mengerti, bahwa untuk memperbaiki stesel pembangunan ekonomi bagi belanda
dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang banyak. Setelah tahun 1848 dikeluarkan
peraturan-peraturan yang menunjukan pemerintah lambat laun menerima tanggung
jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil
perdebatan diparlemen Belanda dan mencerminkan sikap Liberal yang lebih
menguntungkan tehadap rakyat Indonesia. Terbongkarnya penyalahgunaan system
tanam paksa merupakan factor dalam perubahan pandangan. Peraturan pemerintah
tahun 1854 mengimtruksikan Gubernur Jendral untuk mendirikan sekolah dalam tiap
kabupaten bagi pendidikan anak pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan Gubernur
Jendral untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumi
putera pada umumnya menikmati pendidikan.
Sistem
tanam paksa dihapuskan tehun 1870 dan digantikan dengan undang-undang Agraria
1870. Pada tahun itu di Indonesia timbul masalah baru dengan adanya
undang-undang Agraria dari De Waal, yang memberi kebebasan pada
pengusaha-pengusaha pertanian partikelir. Usaha-usaha perekonomian makin maju,
masyarakat lebih banyak lagi membutuhkan pegawai. Sekolah-sekolah
yang ada dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha
mencetak calon-calon pegawai makin dipergiat lagi. Kini tugas departemen adalah
memelihara sekolah-sekolah yang ada dengan lebih baik dan mempergiat
usaha-usaha perluasan sekolah-sekolah baru.
Pada
tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini disebabkan:
- Hasil sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah kolonial. Hal ini terutama sekali desebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.
- Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf bahwa yang harus mendapat pengajaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
- Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan dilapangan pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisa bawah.
Untuk
mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran bumi putra, keluarlah indisch
staatsblad 1893 nomor 125 yang membagi sekolah bumi putra menjadi dua
bagian: (pertama). Sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan
kaum terkemuka. Dengan masa pendidikan 5
tahun, menggunakan bahasa melayu/daerah sebagai pengantar dan tujuan dari
pendidikan kelas satu ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah,
perdagangan dan perusahaan. (kedua) sekolah kelas II untuk untuk rakyat jelata,
masa pendidikan 3 tahun yang bertujuan memenuhi pengajaran rakyat umum.
Jenis-jenis
sekolah yang didirikan dalan fase kolonialisme di indonesia:
a.
Sekolah dasar
1. ELS (Europeesche Lagere School) didirikan pada tahun 1818 dan
merupakan sekolah pertama yang didirikan dibatavia.
2. Sekolah Kelas Dua (De Scholen der Eerste Klase), merupakan hasil reorganisasi
pendidikan dasar 1892, sekolah kelas satu pada tahun 1908 berubah menjadi HCS
(Holandsch Chineesche School) dan HIS ( Holandsch Inlandsche School ) 1914.
3. Sekolah Raja (Hoofden School) 1865
(Tondano) , 1878 (Bandung). Pada tahun 1900 berubah menjadi STOVIA (Opleiding
School voor Inlandsche Ambtenaren) yang ditingkatkan menjadi sekolah menengah
MOSVIA
4. Sekolah Desa (Volkschool) didirikan pada tahun 1907 atas
inisiatif para Bupati dan Residen
5. Sekolah Lanjutan (Vervolgschool ) th 1914 bagi lulusan sekolah desa
6. Sekolah Peralihan (Schakel School)
pada tahun 1921, merupakan jembatan masuk MULO dari sekolah desa.
b.
Sekolah Lanjutan Menengah
1. Sekolah peertukangan Swasta (Ambachts School) tahun 1856 di Betawi
2. Sekolah Militer Pemerintah (Pupillen
Korps) tahun 1854 di Kedungbongo
3.
Sekolah Guru (Kweekschool) . 1851 di Surakarta
dan tahun 1875 dipindahkan ke Magelang , 1856 (Bukittinggi - Fort de Kock),
1864 (Tapanuli – Tanah Batu), 1873 (Tondano) , 1874 (Ambon), 1875 (Probolinggo
dan Banjarmasin), 1876 (Makasar) dan 1879 (Padang Sodempuan), sebagai
antisipasi pembukaan sekolah dasar bagi bumi putra.
4.
Sekolah Dokter “ Jawa “(Inlandsch
Geneeskundige) th 1875 , 1902 menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische
Artsen), 1913 menjadi NIAS (Nederlandsch- Indische Artisen School) dan 1927
menjadi Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool).
5.
Sekolah Dasar yang diperluas - MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs) tahun 1914
6.
Sekolah Menengah Umum – AMS (Algemeene
Middelbare School) tahun 1915.
7. Sekolah Tinggi Warga Negara - HBS
(Hogere Burger School) 1860
8. Pendidikan Kejuruan (Vakonderwijs) :
Sekolah Pertukangan (Ambachts Leergang dan Ambachts School) , Sekolah Pertanian
(Landbouw School – 1903) sementara Sekolah Pertanian Menengah Atas (Midelbaar
Landbouw School) baru dibuka th 1911 , Sekolah Teknik (Technisch School - 1906),
Sekolah Dagang Menengah (Midelbaar Handels School – 1935), Sekolah Kepandaian
Putri (Lagere Nijverheid School Voor Meisjes- 1918), Sekolah Van Deventer,
Sekolah Guru TK (Frobel Onderwijs).
c.
Pendidikan Tinggi
1. Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS-1927) menerima lulusan HBS (Hogere Burger School) dan AMS (Algemeene Middelbare School), STOVIA (Opleiding
School voor Inlandsche Ambtenaren) dan lulusan NIAS (Nederlandsch- Indische Artisen School).
2. Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hoge School – 1924), berawal
dari Sekolah Hukum (Rechts Hoge School – 1924)
3. Sekalah Tinggi Teknik (Technisch Hoge School - 1920)
Diperlukannya
suatu pijakan yang kuat bagi kolonialisme Belanda dalam mengorganisasikan
keuntungan dari negara jajahan, berimbas pada politik pendidikan kolonial yang
sesuaikan dengan watak politik Belanda pada masa itu. Berhubungan dengan ini,
watak dan praktek pendidikan kolonial dapat dilihat dalam beberapa cirri
seperti:
1. Sistem Dualisme; Dalam system dualisme diadakan garis pemisahan antara
system pendidikan untuk golongan Eropa dan system pendidikan unutk golongan
bumi putra. Jadi disini diadakan garis pemisah sesuai dengan politik Kolonial
yang membedakan antara bumi putra dan pihak penjajah.
2. System Korkondasi; Sistem ini berarti bahwa pendidikan didaerah penjajahan
disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di Belanda. System ini diasumsikan
bahwa dengan System yang berkondasi dengan system yang ada di negeri Belanda,
maka mutu pendidikan terjamin setingkat pendidikan di Negara Belanda.
3. Sentralisasi pendidikan; Kebijakan pendidikan dizaman kolonial diurus oleh
departemen pengajaran. Departemen ini yang mengatur segala sesuatu mengeani
pendidikan dengan perwakilannya yang terdapat dipropinsi-propinsi Besar.
4. Menghambat gerakan
nasional; Pendidikan pada masa
itu sangat selektif karena bukan diperuntukan untuk masyarakat pribumi putra
untuk mendapatkan pendidikan dengan seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih
tinggi. Didalam kurikulum pendidikan kolonial pada waktu itu, misalnya sangat
dipentingkan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda.
Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi putra harus menghapal
kota-kota kecil yang ada di negeri Belanda.
5. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis; Perkembangan pendidikan merupakan rangkaian kompromi antara
usaha pemerintah untuk memberikan pendidikan minimal bagi pribumi dan tuntutan yang
terus menerus dari pihak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan
orang Belanda.
b.
Masa Fasisme Jepang
Negara
fasisme Jepang yang berhasil menaklukan pemerintahan Belanda di Indonesia pada
tahun 1942, didorong oleh semangat membentuk Asia Timur Raya dengan konsep
kemakmuran bersama Asia Raya. Dalam konteks perang dunia yang menuntut militer
yang kuat, maka pengelolaan pendidikan di Indonesia oleh Jepang sangat
dipengaruhi oleh tujuan memdukung kemenangan militer jepang dalam perang pasifik.
Atas
kekalahan Belanda oleh Jepang, jepang kemudian menutup semua sekolah berbahasa
Belanda dan mulai menerapkan beberapa kebijakan tentang pendidikan, diantarnya:
(1). Dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan
menggantikan bahasa Belanda (2). Adanya integrasi sistim pendidikan dengan
dihapuskannya sistim pendidikan berdasarkan kelas sosial diera penjajahan
Belanda.
Setelah
mengalami kegagalan membangunan pendidikan di Mancuria dan Cina yang
menggunakan konsep atau sistim Nipponize (Jepang-isasi) dan konsep pendidikan
triple Movement di Indonesia, maka Pembangunan pendidikan yang dilakukan di
Indonesia banyak melibatkan tokoh-tokoh pribumi seperti Soekarno, Ki Hajar
Dewantara dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943 dan mencocokan format kurikulum
pendidikan serta mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal, Setahun kemudian
pendidikan yang dibangun Jepang inipun mengalami kegagalan, sehingga Jepang,
pada masa akhir kedudukannya mencoba kembali untuk menerapkan sistim Nipponize.
Hal ini, ditandai dengan dikerahkannya Sendenbu (propogandis Jepang) untuk
menanamkan idiologi yang diharapkan dapat menghancurkan semangat persatuan
bangsa Indonesia.
Sistem
pendidikan Indonesia zaman Jepang:
1. Pendidikan dasar (kokumin Gakko/sekolah rakyat). Sekolah
Rakyat (SR) merupakan konversi nama dari sekolah dasar kelas I ELS (Europeesche Lagere School) dan
sekolah Kelas II (De Scholen der Eerste Klase) pada masa Penjajahan Belanda.
2. Pendidikan lanjutan terdiri dari Shoto Chu Gakko (sekolah
menengah pertama) dan Koto Chu Gakko (sekolah menengah tinngi)
3. Pendidikan kejuruan. Mencakup seklah lanjutan bersifat
vokasional antara lain dalam bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan,teknik
dan pertanian.
Selain
mencocokan kurikulum pendidikan yang bermuatan lokal, materi pokok seperti Indoktrinasi ideology Hakko
Ichiu, Nippon Seisyin (latihan kemiliteran dan semangat Jepang), bahasa dan
adat istiadat Jepang merupakan bagian dari proses pendidikan dan pelatihan terhadap
guru-guru dalam sekolah-sekolah yang didirikan Jepang.
3. Pendidikan
Dimasa Orde Lama; Soekarno
Tentara
jepang yang semakin terdesak didalam perang Asia Raya, menyebabkan jatuhnya
kabinet Tojo pada tanggal 17 Juli 1944, kemudian digantikan oleh kabinet PM.
Koiso. Dalam kondisi keterdesakan Jepan inilah, PM. Koiso mengeluarkan janji
kemerdekaan bagi Indonesia. Terjadinya Kekosongan kekuasaan setelah Jepang
takluk kalah kapada sekutu dimanfaatkan untuk memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia pada tangaal 17 Agustus 1945.
Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 hasil proklamasi, menjelaskan bahwa salah satu tujuan
dan tugas mendirikan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sistem
pemerintahan berganti, berganti pula ideologi/cita-cita negaranya. Pada masa
pemerintahan Soekarno, skenario yang pertama kali dilakukan oleh Soekarno dan
kabinetnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semenjak proklamasi 17 agustus 1945, sekolah-sekolah
yang telah dibangun pada masa pendudukan Jepang dilanjutkan dengan serba
kekurangan. Namun demikian, dasar-dasar
pendidikan nasional telah disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan
bangsa Indonesia. Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan
dasar-dasarnya.
Pada
masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat
melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954.
Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya.
Pendidikan
memang tidak bisa terlepas dari tujuan negara atau pemerintah. Pada masa
kepemimpinan bung Karno, pemerintahannya menginginkan pembentukan masyarakat
sosialis Indonesia. Untuk itu, tujuan pendidikan disesuaikan dengan tujuan
negara. Walau bagaimanapun, hal ini dianggap penting karena dengan adanya
penyesuaian tujuan pendidikan dengan tujuan pemerintah atau negara, maka
menjadi jelaslah arah pelaksanaan pendidikan pada suatu negara.
Para
pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba
terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional
yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jika dibandingkan dengan sekarang, yaitu tidak ada
kejelasan tujuan pendidikan yang dilaksanakan dan cenderung diwarnai arus
menyambut globalisasi serta mengesampingkan akar kebudayaan bangsa, maka
diperlukan pembahasan mengenai salah satu pendidikan yang pernah dilaksanakan
oleh bangsa Indonesia, yang sesuai dengan tujuan negara, yaitu pendidikan
sosialisme Indonesia oleh pemerintahan Ir. Soekarno (1961-1966). Menteri
pendidikan pertama Ki Hajar Dewantara beberapa bulan sesudah proklamasi
kemerdekaan mengeluarkan Instruksi Umum, yang isinya : menyerukan kepada para
guru supaya membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan patriotisme.
Selain itu,anak yang berumur 8 tahun diwajibkan memperoleh pendidikan Sekolah
Dasar.
Pelaksanaan
wajib belajar menghadapi berbagai masalah, Jumlah sekolah dan guru belum
memadai apalagi wajib belajar itu akan dilaksanakan. Jumlah guru yang dididik
masih sangat terbatas, selain lulusan sekolah-sekolah guru Zaman kolonial. Pada
Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan system
yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini
didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada
zaman kolonial.
Pada
zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi
kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan
pada Orde Lama. Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan
tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi.
Kebijakan
ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi.
Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti
UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR. Pendidikan sosialisme Indonesia yang
dijalankan oleh pemerintah, ditingkatan kebijakan, sampai penerapannya
dilingkungan pendidikan formal, SMP, SMA, dan perguruan tinggi, merupakan salah
satu cara mensejalankan tujuan pendidikan dengan tujuan negara. Pemerintah
membuat suatu kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan lahirlah mata
pelajaran Ilmu Kewargaan Negara atau Civics yang diajarkan di tingkat SMP dan
SMA.
Indonesia
di era Soekarno, merupakan negara yang syarat dengan cita-cita sosialisme.
Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang pendidikan. Statuta
Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas menyatakan bahwa
tujuanUGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di
bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak perubahan pada
isinya di mana salah satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai
tujuan menyokong sosialisme pendidikan Indonesia.
Indonesia
pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi
masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945.
Indonesia bahkan mampu mengekspor guru ke Negara tetangga, menyekolahkan ribuan
mahasiswa ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh
penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. Tahun 1960-an terjadi peningkatan
luar biasa perguruan-perguruan tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah
mahasiswa dan pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan
layak, bahkan menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Jargon “study, work, rifle” atau “belajar,
berkarya, dan senjata” merupakan satu jargon yang juga dipakai oleh
beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar pada era tersebut.
Semangat
antikolonialisme setelah lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang
dijawantahkan dengan semangat membangun sosialisme, termasuk dalam hal
pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar
di perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan
kolonialis (seperti dilakukan kolonial Belanda).
Masa
soekarno adalah orde di mana semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna
kulit, keturunan, agama, dan sebagainya. Begitu juga dalam dunia pendidikan.
Orde Lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas
demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesame warga negara termasuk dalam
bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita
pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa. Di dalam kampus muncul
kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai dengan fragmentasi politik yang
begitu hebat di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bebas beroroganisasi sesuai dengan
pilihan atau keinginannya. Inilah salah satu era keemasan bagi gagasan dan ilmu
pengetahuan di Indonesia.
Kebijakan
pendidikan saat itu dilakukan secara sentralistik, kebijakan pendidikan di masa
itu diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang
datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk kebutuhan pasar
melainkan untuk orientasi pembangunan manusia Indonesia. Pendidikan pada masa
ini diarahkan untuk memenuhi kemandirian ekonomi Indonesia. Dimana-mana mulai
dibuka lembaga-lembaga pendidikan baru (tentunya selain sekolah peninggalan
Belanda) dari sekolah dasar sampai sekolah tinggi sebagai sarana peningkatan
kualitas pengetahuan rakyat. Semangat diskriminatif di dalam sekolah formal mulai
dikikis. Anak-anak dari kalangan buruh dan tani mulai bisa menikmati dan mengenyam
bangku pendidikan.
Pada
era Soekarno terjadi kemajuan sumber daya manusia, yang mana dapat kita lihat
dari banyaknya tenaga terdidik Indonesia yang digunakan sebagai tenaga pendidik
di negara lain. Selain itu juga semakin banyaknya para siswa dari negara lain
yang datang bersekolah diIndonesia.
Secara
yuridis, pemikiran tentang pendidikan nasional dapat dilacak dalam undang-undang
nomor 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran disekolah
(lembaran Negara tahun 1950 nomor 550), yang pelaksanaannya ditegaskandalam UU
no.12 th.1954, tentang pernyataan berlakunya UU no.4 th.1950 tentang
dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia
(lembaran Negaratahun 1954 nomor 38. Tambahan lembaran Negara nomor 550).Tujuan
dan dasar pendidikan pada orde Lama dapat dilihat pada pasal 3 dan 4.Pasal 3: “Tujuan
pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga
Negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan
masyarakatdan dan tanah air ”Pasal 4:“ Pendidikan dan pengajaran berdasar atas
asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia dan
atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”. Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, bangsa Indonesiapun menunjukan kepeduliannya terhadap
pendidikan. Hal itu terbukti dengan menempatkan usaha untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia. Sebagaimana tertulis
dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Pada
tahun 1965, Pendidikan Nasional telah memiliki pondasi atau identitasnya, yaitu
Pancasila, ketika terkait dengan fungsinya sebagai transformasi sosial. Namun
jauh sebelum penegasannya, pendidikan sebagai transformasi sosial sendiri
sebenarnya dimulai pada tahun 1959, ketika Soekarno memberikan penegasan
mengenai ideologi bangsa yang berdasarkan budaya dan pengalaman sejarah bangsa
Indonesia, dan kemudian menempatkan pendidikan untuk mewujudkan ideologi
bangsa.
Sebagai
alat untuk mencapai tujuan pendidikan, kurikulum harus mencerminkan kepada falsafah
sebagai pandangan hidup suatu bangsa, karena ke arah mana dan bagaimana bentuk
kehidupan bangsa itu kelak, banyak ditentukan dan tergambarkan dalam kurikulum
pendidikan bangsa.
Kemudian
setelah Indonesia merdeka, terjadi dua kali perubahan kurikulum, yang pertama
dilakukan dengan dikeluarkannya rencana pelajaran tahun 1947 yang menggantikan
seluruh sistem pendidikan kolonial, kemudian pada tahun 1952 kurikulum ini
mengalami penyempurnaan. Perubahan kedua terjadi dengan dikeluarkannya rencana
pendidikan tahun 1964.
4. Pendidikan Dimasa Orde Baru;
Soeharto
Sebagaimana
sistim politik pada era itu, maka menajeman pendidikan dilakukan secara
sentralistik. Sekolah-sekolah sebagai pelaksana pendidikan tidak memiliki
kewenangan yang memadai untuk ikut serta
menyusun rumusan pendidikan nasional. Semua kebijakan pendidikan ditentukan
oleh pemerintan pusat. Sejalan dengan pemerintahan Orde Baru yang otoriter, masalah
pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintahan soerharto
untuk melakukan indoktrinisasi kepada rakyat.
Kebijakan
pendidikan pada masa Orde Baru diarahkan pada penyeragaman. Pendidikan di masa
ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman didalam berpikir dan
bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial
masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen.
Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan
disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan
ekonomi yang dijadikan panglima. Pembangunan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya
domestik, melainkan bergantung pada hutang luar negeri sehingga melahirkan
sistem yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Berbagai
layanan publik tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat
tidak diikut sertakan di dalam manajemennya. Bentuk pembangunan pada saat itu
mengingkari kebhinekaan serta semakin mempertajam bentuk primordialisme.
Penerapan
pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas melainkan pada target
kuantitas. Rezim berganti, ideologi dan politik pendidikan pun berganti.
Awalnya perubahan ideologi dan politik ini belum berubah tajam, sampai suatu
hari terjadi krisis minyak dunia pada awal 1980-an, yang membuat negara
mengetatkan anggaran. Ketergantungan pada ekspor minyak seketika mendatangkan
malapetaka karena harga minyak turun drastis di kala hutang luar negeri juga
jatuh tempo. Anggaran untuk publik diketatkan termasuk di bidang pendidikan.
Seketika rakyat masuk dalam sistem pendidikan pasar yang memperbesar
ketimpangan si kaya dan si miskin.
Gaji
guru tidak lagi mampu mendukung kebutuhan minimal untuk mengajar dengan tekun dan
baik. Ekstensifikasi pendidikan berjalan lambat karena keterbatasan anggaran. Para
penguasa terlalu banyak mencampuri dan “mengarahkan“ sistem pendidikan ini, sehingga
apa yang disebut filsafat pendidikan nyaris tidak terefleksikan dalam setiap tindakan
pendidikan maupun pembelajaran. Sistem pendidikan, ataupun mungkin lebih sempit
dari itu : sistem persekolahan terlalu banyak digunakan sebagai transmisi
sosial membangun kehidupan bersama dan menomor duakan kebhinekaan. Konvergensi
dan kesamaan tujuan pembangunan. Dengan demikian membangun manusia Indonesia
seutuhnya sebenarnya telah direduksikan dalam tindak pendidikan. Demikian pula
tujuan pendidikan juga mengacu pada tujuan pembangunan bangsa dan negara yang
menuntut konvergensi perilaku, bahkan hal-hal yang original,lateral dan baru
dianggap mengganggu keselarasan dan kesesuaian corak kehidupan hari ini. Ini
berarti, bahwa sistem pendidikan bersifat status quo karena kemungkinan mengadakan
inovasi dan bertindak kreatif, menuntut divergensi berfikir dan originalitas yang
kurang diperhatikan karena suasana belajar sifatnya uniform.
Disamping
itu lebih diprioritaskan stabilitas dan keseragaman kontinuitas. Akhirnya
kembali pemerintah meletakkan lembaga pendidikan sebagai bagian dari birokrasi
negara yang mengalami pengetatan aturan. Rektor ditunjuk Menteri, Kepala SMA,
SMP ditunjuk Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan untuk
Kepala SD. Hal ini untuk mencegah berujungnya dinamika kaum muda pada
pengkritisan kebijakan orde baru yang otoriter serta hanya menyejahterakan
segelintir rakyat Indonesia di masa itu.
Kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus 1978 memang membuat lahirnya ribuan peneliti dari
kampus-kampus. Namun sebuah kenyataan juga jika jumlah pengangguran meningkat
tajam di tahun 1980-an. Tetapi sekali lagi, kebijakan orde baru yang
menempatkan lembaga pendidikan di bawah birokrasi negara yang ketat melahirkan
generasi yang gagal. Kegagalan kegagalan pendidikan melahirkan Ketidakpuasanpada
rakyat, karena akses terhadap pendidikan yang makin berkurang. Sekolah dan
perguruan tinggi swasta menggejala karena keterbatasan pemerintah untuk
menyediakan sekolah-sekolah baru. Ekstensifikasi pasar ini kemudian diimbangi
oleh Orde Baru dengan proses indoktrinasi. Peng-asastunggal-an ideology.
Rezim Orde
Baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu
melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif. Walaupun secara kuantitatif
rezim ini memang telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup baik di bidang
pendidikan. Namun keberhasilan kuantitatif ini, belum terlihat pemberdayaan
masyarakat secara luas, sebagai cermin dari keberhasilan suatu sistem
pendidikan, dan tidak pernah terjadi. "Mengapa demikian? Karena Orde Baru,
setelah lima tahun pertama berkuasa, secara sistematis telah menyiapkan
skenario pemerintahan yang memiliki visi dan misi utama untuk melestarikan
kekuasaan dengan berbagai cara dan metode. Akibatnya, sistem pendidikan
kemudian dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan safety
net (jaring pengaman) bagi pelestarian kekuasaan.
Pendidikan
produk Orde Baru belum bisa diharapkan untuk membangun dan memberdayakan
masyarakat, karena pendidikan yang berjalan pada masa Orde Baru dan produknya
dapat dirasakan sekarang ini, sebatas pada sosialisasi nilai dengan pola hafalan,
dan kreativitas dipasung.
Sistem pendidikan
nasional sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa pada saat itu.
Maka selama Orde Baru telah tercipta suatu kehidupan bangsa yang tidak sesuai
dengan cita-cita UUD 1945. Pemerintah Orde Baru yang represif telah
menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, bertindak
dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada
kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia.
5. Pendidikan Dalam Era Reformasi
Sekarang Ini.
Dalam
sistem pendidikan sekarang, berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi
dari kebijakan sistem pemerintahan Indonesia yang berpihak pada kapitalisme
global. Pendidikan direndahkan posisinya sebagai alat elevasi sosial untuk
memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ilmu direndahkan menjadi deretan
angka-angka indeks prestasi (IP). Akses masuk ke lembaga-lembaga pendidikan
semakin terbatas karena formasi sosial tidak memungkinkan warga masyarakat
kebanyakan (miskin) menginjak bangku sekolah yang lebih tinggi.
Kebijakan
neoliberalisme sebagai ideologi negara dalam praktek pemerintah, berimplikasi
pada semua lini kehidupan bangsa Indonesia, termaksud dunia pendidikan.
pemaksaan penerapan hukum Ekonomi neoliberalisme pada dunia pendidikan,
berdampak pada liberalisasi pendidikan. Pendidikan tidak lagi ditempatkan
sebagai alat membangun kepribadian bangsa. Era Neoliberalisme seperti sekarang
ini, menjadikan Pendidikan sebagai komoditi bisnis. Tentu saja pihak pemilik
modal yang mendapatkan keuntungan yang begitu besar dari sistem pedidikan
Indonesia sekarang ini.
Pada
tahun 1998, terjadi perubahan status Peguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan
Hukum Milik Negara (BHMN). Upaya pengalihan ini dilakukan untuk mengurangi
beban Finansial negara dan menyerahkan sektor pendidikan dalam arena
pasar. Sebagai konsekwensi dari
liberalisasi pendidikan, negara melepaskan tanggung jawabnya dalam membiayai
pendidikan. hal ini, mendorong lembaga-lembaga pendidikan melakukan pengalangan
biaya operasional pendidikan. Lepas tangan pemerintah dalam dunia pendidikan
mengkibatkan biaya pendidikan drastis melonjak naik.
Kebijakan
pendidikan yang mahal ini memang sangat merisaukan karena akan mengubur impian
mobilitas kelas sosial bawah untuk memperbaiki kelas sosialnya. Melalui sistem
ini, maka yang bisa diserap dalam lingkungan pendidikan adalah mereka yang
memiliki kemampuan financial yang cukup. Lembaga-lembaga pendidikan kian
menjadi lembaga elit bahkan menjadi kekuatan yang menghadang arus mobilitas
kelas bawah untuk mengakses pendidikan.
Tingkat
keberhasilan dan kualitas pendidikan diukur pada tingkat peneriman lulusan tiap
tahun dipasar tenaga kerja. Ketika ini menjadi ukuran keberhasilan pendidikan
maka kurikulum pendidikan juga akan turut disesuaikan dengan kebutuhan pasar
tenaga kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar